Al-Risalah Des 2016.indd

advertisement
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
Al-Risalah
Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
p-ISSN: 1412-436X
e-ISSN: 2540-9522
Vol. 16, No. 2, Desember 2016 (hlm. 169-185)
PARADOKS ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH
THE PARADOX OF THE PRESUMPTION OF INNOCENCE
PRINCIPLE
Aristo Pangaribuan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Kampus UI Depok, 16424, Depok, Jawa Barat
E-mail: aristomap@gmail.com
Submitted: Oct 1, 2016; Reviewed: Nov 17, 2016; Accepted: Nov 28, 2016
Abstract: The presumption of innocence is the most basic principle in the criminal procedural law anywhere.
This principle contains a paradox because on one hand, the state, through law enforcers are required to gather
evidence in order to name one as a suspect, but on the other hand the state also has an obligation to presumed
one innocent until proven guilty. This principle contains an abstract understanding, that its application is
causing problems in translating the presumption of innocence. For example, in Indonesia, practices such as the
publication of the trial, the press conference with the suspect becomes a real form of confusion in applying the
presumption of innocence. This article try to discuss about the true definition of the presumption of innocence
by doing a comparison of the implementation of the presumption of innocence in Europe and the United States.
By looking at the comparison of such implementation, this article explains how should the presumption of innocence set forth in the form of concrete legislation.
Keywords: Presumption of Innocence, Paradox, Individual Rights
Abstrak: Asas praduga tidak bersalah merupakan asas yang paling dasar di dalam hukum acara pidana di
manapun. Asas ini mengandung paradoks karena di satu sisi, negara melalui aparatur penegak hukum diwajibkan untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, di sisi lain mempunyai kewajiban untuk tetap menganggapnya tidak bersalah. Asas ini mengandung pengertian yang abstrak,
sehingga penerapannya menimbulkan permasalahan dalam menerjemahkan asas praduga tidak bersalah.
Misalnya, diIndonesia praktik-praktik seperti publikasi persidangan, konferensi pers dengan tersangka menjadi
bentuk nyata kebingungan dalam menerapkan asas praduga tidak bersalah.Tulisan ini mencoba membahas
mengenai definisi yang sesungguhnya dari asas praduga tidak bersalah dengan melakukan perbandingan terhadap implementasi praduga tidak bersalah di Eropa dan Amerika Serikat.Dengan melihat perbandingan
implementasi tersebut tulisan ini menjelaskan bagaimana seharusnya asas praduga tidak bersalah dituangkan
di dalam bentuk konkret peraturan perundang-undangan.
Kata kunci: Praduga tidak bersalah, Paradoks, Hak Individu
Al-Risalah
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
169
Aristo Pangaribuan
Pendahuluan
Asas Praduga Tidak Bersalah atau yang lebih
dikenal dengan Presumption of Innocence
merupakan salah satu asas hukum yang dikenal secara universal. Asas ini diakui sebagai
salah satu elemen penting dalam sistem peradilan pidana di berbagai belahan dunia. Secara sederhana, Asas Praduga Tidak Bersalah
dimaknai sebagai suatu keadaan yang mengharuskan seorang yang dituduh melakukan
tindak pidana untuk dianggap tidak bersalah
sampai ada putusan pengadilan yang mengatakan sebaliknya1. Pengertian Asas Praduga
Tidak Bersalah yang terlihat sederhana tersebut justru pada kenyataannya masih menimbulkan perdebatan fundamental baik dari
bagaimana memaknai dan memahami asas
tersebut secara utuh dan mendalam, dan bagaimana implementasi dari asas tersebut dalam praktik peradilan.2
Secara umum, pemicu utama dari
berkembangnya perdebatan atas Asas Praduga Tidak Bersalah adalah karena paradoks
yang terkandung dalam asas tersebut. Paradoks tersebut berupa pertentangan yang tajam
antara pengertian serta maksud dan tujuan dari
Asas Praduga Tidak Bersalah dengan penerapannya di lapangan. Salah satu contoh dari
paradoks ini dapat dilihat dengan mengambil
contoh dari proses penetapan status seseorang
sebagai tersangka.
Dalam proses peradilan, sebelum me1 Dalam Kovenan Hak Asasi Manusia Pasal 14
ayat (2) disebutkan “Everyone charged with a
criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to
law”
2 Komentar Umum Hak Asasi Manusia Nomor 13
Pasal 14 angka 7 menggambarkan bahwa asas
Presumption of Innocence pada pelaksanaannya
masih mengandung ambiguitas dan dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan pelaksanaannya menjadi tidak efektif.
170
netapkan status seseorang sebagai tersangka, pejabat yang berwenang terlebih dahulu
melakukan serangkaian tindakan dalam proses
penyelidikan dan penyidikan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi dan buktibukti yang akan digunakan sebagai dasar
untuk menentukan siapa orang yang diduga
melakukan tindak pidana tersebut.
Bukti permulaan yang berhasil diperoleh oleh pejabat berwenang tentu dapat kita
maknai sebagai adanya asumsi dari pejabat
tersebut bahwa terdapat indikasi bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dan
negara (state) mempunyai justifikasi untuk
“melanggar hak asasi” seorang tersangka
karena adanya bukti-bukti permulaan yang
menyatakan seseorang terlibat dalam suatu
tindak pidana. Negara tentunya akan berpikir
bahwa asumsi pejabat berwenang ini tentu
kontras apabila dikaitkan dengan pengertian
dari Asas Praduga Tidak Bersalah. Adanya
kewajiban untuk tetap menganggap seseorang
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya akan sangat sulit untuk diterapkan dalam implementasinya. Kenyataan bahwa “menuduh” seseorang
berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup adalah pekerjaan negara melalui aparatur
penegak hukumnya. Paradoks ini menjadi inti
pembahasan tulisan ini3. Di satu sisi, negara
mempunyai bukti-bukti permulaan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, namun
di sisi lain, adalah kewajiban bagi negara untuk menegakkan Asas Praduga Tidak Bersalah
sebagai hak asasi manusia yang paling dasar.
3 Weigend dalam tulisannya menyebutkan bahwa
“Presumption of Innocence bekerja dengan bertentangan antara pengalaman dan intuisi”. T.
Weigend, ‘Assuming that the Defendant is not
Guilty: The Presumption of Innocence in the
German System of Criminal Justice’, (2014) 8
Criminal Law and Philosophy, No. 2, 287.
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
Sudah merupakan tugas negara melalui penyidik dan penuntut, untuk menuduh seseorang
bersalah berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Di dalam sistem acara pidana inquisitorial, perlunya penyidik dan penuntut bertindak netral sangat memegang peranan penting.
Asas praduga tidak bersalah sebenarnya diharapkan mampu menjaga negara agar senantiasa bertindak netral dalam proses penyidikan
dan penuntutan.
Selanjutnya, paradoks yang terkandung
didalam Asas Praduga Tidak Bersalah ini dipicu dari kenyataan bahwa adanya perbedaan
sudut pandang dalam memaknai Asas Praduga Tidak Bersalah. Beberapa penulis berbeda
pendapat terkait Asas Praduga Tidak Bersalah,
disatu pihak mengatakan sebagai asas yang
bersifat hipotesis dari prinsip peradilan yang
adil (fair trial) dan disatu pihak lain mengkualifikasikan Asas Praduga Tidak Bersalahsebatas norma prosedural.4 Selain itu, adanya
konflik antara state interest atau kepentingan
yang lebih luas (common good) dan hak individu (individual rights)yang berakibat pada
adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami asas ini juga memiliki pengaruh besar terhadap tajamnya perbedaan dalam pelaksanaan
Asas Praduga Tidak Bersalah.
Paradoks dalam Asas Praduga Tidak Bersalah dapat dikaji lebih lanjut dengan membahas mengenai pemaknaan dan implementasi
Asas Praduga Tidak Bersalah yang mengacu
pada pertanyaan-pertanyaan seperti apa sebenarnya tujuan hukum dibentuknya Asas Praduga Tidak Bersalah tersebut. Begitupula
halnya dengan pertanyaan yang lebih teknis
seperti kapan dan dimana asas tersebut diap4 Van Sliedregt 2009, supra note 2; and Y. Buruma,
dalam kajian buku (review of E. van Sliedregt,
‘Tien tegen één. Een hedendaagse bezinning op
de onschuldpresumptie’ (oratie VU Amsterdam)),
(2009) Delikt en Delinkwent, No. 8, 859.
Al-Risalah
likasikan dan siapa saja yang terikat pada asas
tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengkaji
lebih dalam terkait Asas Praduga Tidak Bersalah dengan mengacu pada pertanyaan-pertanyaan diatas, guna menggambarkan urgensi
dan pentingnya pemaknaan dan kejelasan atas
Asas Praduga Tidak Bersalah. Pada akhirnya,
kita akan dapat menjawab pertanyaan klasik
dalam hukum acara pidana dan sekaligus poin
terpenting dari permasalahan seputar Asas
Praduga Tidak Bersalah, yakni: Innocent until found guilty atau Guilty until found Innocent?
Tulisan ini kemudian membedakan Asas
Praduga Tidak Bersalah sebagai asas, yang berarti konsepsi yang lebih abstrak yang di dalam
pemahamannya kita harus melihat turunanturunan peraturan dari asas tersebut. Metode
penelitian yang digunakan dalam mencoba
memahami dan menjawab paradoksitas yang
tergantung dari Asas Praduga Tidak Bersalah
adalah studi komparasi dengan prakteknya di
Amerika Serikat dan Eropa. Dimana dengan
melihat bagaimana praktek Amerika Serikat
dan Eropa dalam menerjemahkan suatu asas
praduga tidak bersalah ke dalam perangkat
aturan-aturan yang lebih konkret, penulis dapat melihat apakah asas praduga tidak bersalah sudah dituangkan dengan baik di dalam
hukum positif di Indonesia. Praktek di dalam
Amerika Serikat dan Eropa dipilih karena sejarah prinsip tersebut dapat ditemukan di sana
dan sangat berkaitan dengan hak-hak individu
yang banyak diciptakan dan menjadi diskursus
di dalam Amerika Serikat dan Eropa.
Makna Dan Tujuan Asas Praduga Tidak
Bersalah
Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas,
untuk melihat apakah di dalam hukum positif
di Indonesia asas praduga tidak bersalah su-
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
171
Aristo Pangaribuan
dah diterjemahkan melalui bentuk aturan yang
konkret terlebih dahulu harus dikualifikasikan
apakah asas tersebut secara normatif merupakan suatu Rules atau Standard. Meskipun terdapat beberapa perdebatan mengenai perbedaan antara rules dan standard, namun pada
dasarnya terdapat kesamaan antara para ahli
mengenai perbedaan mendasar dari kedua hal
tersebut. Rules didefinisikan sebagai “a rule
that enforced according to its terms rather
than the policies animating it”5, sedangkan
Standard, sebaliknya didefinisikan sebagai
“the attempt to enforce those policies more directly”. Selanjutnya, perbedaan antara Rules
dan Standard adalah efeknya. Rules membatasi diskresi dari pembuat kebijakan dalam
menentukan “if a predetermined set of facts
exist”, sedangkan Standard “are more inclusive about the particular facts the decisionmaker can consider based on the individualized circumstances of the case”6.
Dari pengertian diatas, Asas Praduga
Tidak Bersalah dapat dikategorikan sebagai
sebuah Standard. Sebagai sebuah Standard,
Asas Praduga Tidak Bersalah memang memiliki tujuan baik moral dan politik. Ada alasan
mendasar mengapa seseorang yang dituduh
melakukan suatu tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan
sebaliknya. Akan tetapi di dalam menerapkan sebuah Standard, diperlukan seperangkat
aturan (rules) untuk menjamin kepastian hukum dari sebuah asas, yang disebut Standard.
Sebagai standard, asas praduga tidak
bersalah ditujukan untuk menjamin agar
5 Larry Alexander, Incomplete Theorizing: A Review Essay of Cass R. Sunstein’s Legal Reasoning and Political Conflict, 72 Notre Dame L. Rev.
(1997), 531-541.
6 Sullivan, supra note 56, at 58–59 (asserting that
a standard allows for consideration of all facts);
Sunstein, supra note 56, at 965
172
sistem peradilan pidana, sebagai sarana untuk
menjaga ketertiban dan menciptakan tatanan
masyarakat yang adil, dapat benar-benar mencapai tujuannya dengan cara menganggap seseorang tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan. Pada titik inilah, Asas Praduga Tidak
Bersalah akan menemukan sifat dua sisinya,
yaitu sebagai pelindung dari kebebasan individu, dan disisi lain sebagai petunjuk untuk
pejabat yang berwenang dalam menjalankan
kewenangannya. Hal ini secara spesifik dapat
digambarkan melalui ide pokok dan rasionalisasi Asas Praduga Tidak Bersalah sebagai
pelindung dari terjadinya tuduhan yang salah
(wrongful conviction), perlindungan terhadap
potensi kesewenang-wenangan oleh negara
(protection from state abuse), dan perlakuan
standar dan pola pikir pejabat publik (standard for treatment and mindset for public officials).
Pertama, sebagai pelindung dari terjadinya Wrongful conviction. Asas Praduga Tidak
Bersalah dalam peranannya ini setidaknya
berkaitan dengan dua asas penting lain. Pertama adalah terkait in dubio proreo (terdakwa
tidak dapat dihukum ketika ada keraguanraguan yang nyata akan kesalahannya) yang
berkaitan dengan ukuran membuktikan kesalahan tertuduh, dan kedua terkait beban penuntut umum selaku negara untuk membuktikan kesalahan si tertuduh. In dubio pro reo
dan beban pembuktian pada penuntut umum
ini.
Kedua, Asas Praduga Tidak Bersalah berfungsi sebagai pelindung dari kesewenangwenangan tindakan negara (State Intrusive
Action). Dalam proses peradilan pidana, tidak
dapat dihindari bahwa untuk mencapai tujuannya, Negara perlu melakukan berbagai tindakan yang bersifat memaksa kepada individu.
Asas Praduga Tidak Bersalah dalam konteks
ini berupaya untuk menekan Negara agar
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
tidak mengambil tindakan yang mengisyaratkan kesalahan seseorang. Weigend berpendapat bahwa Asas Praduga Tidak Bersalah bersifat penyeimbang atas kekuatan Negara guna
semaksimal mungkin menjaga agar tindakannya tidak sampai membawa resiko individual
berupa stigma kesalahan terhadap seseorang,
seperti misalkan tindakan penahanan yang dianggap dapat memberikan individualized suspicion atas kesalahan seseorang. Pentingnya
menjaga kebebasan individu dari kekuasaan
negara juga dikemukakan oleh Beccaria yang
mengatakan bahwa Asas Praduga Tidak Bersalah secara spesifik bertujuan untuk mencegah adanya tindakan penyiksaan dari penegak
hukum dan perlakuan yang lebih baik kepada
seseorang yang dikenakan penahanan pra-persidangan. Beberapa penulis juga memandang
Asas Praduga Tidak Bersalah dalam konteks
ini sebagai suatu upaya untuk mengingatkan
pejabat berwenang untuk tidak melakukan
tindakan-tindakan yang tidak dapat diperbaiki
atau irreparable action7.
Ketiga, Asas Praduga Tidak Bersalah sebagai prinsip dasar untuk dilaksanakannya hak
tersangka untuk diperlakukan layaknya orang
yang tidak bersalah. Corsten and Borgers berpendapat bahwa rasionalisasi Asas Praduga
Tidak Bersalahdalam konteks ini diwujudkan
dalam bentuk aturan turunan berupa kewajiban pengadilan untuk menyediakan kesempatan bagi tersangka untuk dapat mengemukakan apa yang ia rasa perlu, dan pengadilan
berkewajiban untuk memperhatikannya. Dengan kata lain, Asas Praduga Tidak Bersalah
membuka ruang bagi pihak tersangka untuk
menguji pelaksanaan hak-hak prosedural.
7 Corstens/Borgers 2014, supra note 11, pp. 46-47,
menyatakan bahwa asas praduga tidak bersalah
juga menyangkut soal penahanan yang harus
dibedakan antara pretrial detention dan post trial
Stevens 2009, supra note 2
Al-Risalah
Salah satu bahaya laten yang mengancam
eksistensi Asas Praduga Tidak Bersalah adalah paradigma yang terbangun dari rangkaian
tindakan aparat penegak hukum sepanjang
proses Preliminary Investigation dan dikaitkan dengan “pengalaman” aparat penegak
hukum atas kasus-kasus atau situasi sejenis,
yang pada akhirnya membentuk paradigma
aparat penegak hukum akan adanya kesalahan
si tersangka/terdakwa.
Akan tetapi, sebagai sebuah standar, ideide pokok tersebut diatas masih bersifat abstrak dan untuk konkritisasinya masih diperlukan aturan yang lebih konkrit. Pengertian dan
tujuan dari asas tersebut ternyata tidak jarang
bertentangan dengan upaya pelaksanaannya.
Di dalam hukum positif di Indonesia,
asas praduga tidak bersalah masih merupakan
sebuah standard yang abstrak. KUHAP, melalui penjelasan umum butir ke huruf c menyatakan:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Kemudian UU 48 tahun 2009 di dalam
pasal 8 mengenai Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Kedua pengaturan ini menciptakan sebuah
standard, dimana dengan jelas bahwa setiap
tersangka wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Akan tetapi, di dalamnya tidak
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
173
Aristo Pangaribuan
diatur mengenai bagaimana konkretnya untuk
menganggap orang itu tidak bersalah, ketika
tugas utama negara melalui aparatur penegak
hukum adalah mengumpulkan bukti-bukti
permulaan untuk menetapkan tersangka dan
membuktikan serta meyakinkan hakim bahwa
benar seseorang telah bersalah?
Pertentangan yang timbul juga bersifat
multidimensional berupa pertentangan yang
terkandung dalam pelaksanaan kewenangan
terkait prosedur hukum acara pidana, baik
pada tahap sebelum pengadilan, pada saat
pengadilan, dan juga terkait pada hal-hal diluar prosedur peradilan yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian proses tersebut, seperti misalkan pernyataan-pernyataan dan atau
tindakan-tindakan dari aparatur penegak hukum.
Pertentangan Asas Praduga Tidak Bersalahdalam pelaksanaannya tidak terlepas dari
tidak adanya kejelasan mengenai bagaimana
implementasi konkret asas tersebut. Konkritisasi dari Asas Praduga Tidak Bersalah ini
menjadi poin penting karena terdapat keberagaman terkait pandangan dan praktik peradilan itu sendiri. Di Amerika Serikat, melalui Modern Federal Jury Instruction, diatur
bahwa PI sudah cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa tidak bersalah dan oleh karenanya harus dibebaskan8. Dengan kata lain
tanpa memperhitungkan bukti bukti yang
dimiliki oleh penuntut umum, sepanjang Juri
merasa terdakwa tidak bersalah, sekalipun
tanpa dasar yang jelas selain dari keyakinannya atas tidak bersalahnya si terdakwa, maka
juri dapat memutus bebas. Ketentuan ini akhirnya dikesampingkan oleh US Supreme Court
karena dianggap terlalu memberikan kemuda8 Dalam Model Jury Instruction tersebut dikatakan
bahwa “The presumption of innocence alone may
be sufficient to raise a reasonable doubt and to
require the acquittal of a defendant”
174
han bagi terdakwa9.
Supreme Court pada tahun 1979 menyebutkan bahwa Asas Praduga Tidak Bersalah adalah mekanisme yang dipakai untuk
melokalisir beban pembuktian sepanjang proses pidana, mengalokasikan beban pembuktian
dan pengingat bagi Juri bahwa kesalahan seorang terdakwa didasarkan pada bukti yang
dikemukakan dipengadilan, bukan hanya dari
kecurigaan-kecurigaan yang muncul dari fakta terkait penahanan, penuntutan, atau hal lain
yang tidak berkaitan dengan bukti di persidangan. US Supreme Court kemudian membuat
batasan sekaligus pembeda antara Asas Praduga Tidak Bersalah dan adanya Reasonable
Suspicion dalam konteks tindakan seperti penahanan dan penggeledahan dalam pre-trial.
Negara yang melakukan tindakan penahanan
bukan berarti melanggar Asas Praduga Tidak
Bersalah dan tidak dibebankan kewajiban untuk membuktikan Guilt Beyond Reasonable
Doubt, sepanjang terdapat alasan yang masuk
akal untuk melakukan tindakan tersebut.
Dalam Common Law System, bahasan
menarik mengenai dikotomi Asas Praduga
Tidak Bersalah terletak pada penempatannya dalam diskursus apakah harus dimaknai
sebagai Material Innocence, dalam artian
seseorang sama sekali tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan, atau Probatory
Innocence, dalam artian tidak bersalahnya
seseorang semata-mata karena bukti yang
diajukan tidak memenuhi standar minimum
pembuktian.10 Dalam sistem hukum ini Juror,
9 STAR-0-3 Modern Federal Jury Instructions–
Criminal P 3.02. Interestingly, the Supreme
Court has seemingly overruled that idea that the
PI alone is sufficient to acquit a defendant. See
United States v. Ibara-Alcarez, 830 F.2d 968 (9th
Cir. 1987).
10 Larry Laudan. The Presumption of Innocence:
Material or Probatory. Cambridge University
Press, 349-351
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
selaku pihak yang menguji kebenaran fakta,
pada dasarnya menginginkan Asas Praduga
Tidak Bersalah dimaknai sebagai Material
Innocence. Akan tetapi pada faktanya, material innocence nyaris tidak mungkin terjadi
apabila mengacu pada fakta bahwa seorang
terdakwa sebelum dihadapkan di muka Juri
hanya diberikan kesempatan untuk menyatakan dirinya Guilty, atau Not Guilty. Dengan
kata lain, maksud dari Material Innocence
tersebut secara faktual terdegradasi menjadi
sebatas Probatory Innocence.
Lebih mendalam dalam melihat keseluruhan proses persidangan di Common Law
System, pola pikir juri yang dihadapkan pada
bukti-bukti yang diajukan oleh penuntut
umum semakin mengarah pada Probatory innocence. Juri dalam praktiknya sebatas diminta untuk menilai apakah bukti yang diajukan
telah terpenuhi atau tidaknya standar pembuktian. Ada perbedaan tipis namun fundamental
dalam pola pikir Juri dalam menilai fakta di
persidangan. Idealnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, Juri harus menempatkan dirinya dalam melihat seorang terdakwa
sebagai seseorang yang Material Innocence,
dan tanggung jawab penuntut umum untuk
merubah keyakinan para juri terhadap terdakwa, dari seseorang yang material innocence,
menjadi material guilty.
Lain pula halnya dengan pelaksanaan
Asas Praduga Tidak Bersalah di Republik
Tiongkok. Seiring dengan perkembangan kultur dan ideologi masyarakat Tiongkok, Asas
Praduga Tidak Bersalah yang mulai dikenal
pada pertengahan tahun 1950, awalnya dianggap sebagai prinsip yang bersifat “terlalu kebarat-baratan” dan dirasa tidak cocok dengan
masyarakat sosialis Tiongkok.11 Lebih jauh,
11 Timothy A. Gelatt, The People’s Republic of
China and the Presumption of Innocence, Journal
of Criminal Law and Criminology, Vol. 73: 308
Al-Risalah
penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah hanya dianggap sebagai upaya membuang-buang
waktu, karena banyaknya norma prosedural
yang harus diikuti. Asas Praduga Tidak Bersalah di Tiongkok diterapkan secara terbatas
terutama dalam tahap pre-trial.Tiongkok beranggapan bahwa pelaksanaan Asas Praduga
Tidak Bersalah secara maksimal, khususnya
memberikan ruang untuk membela diri sejak
awal proses penyidikan, akan mengakibatkan
kesulitan dalam mengungkap suatu tindak pidana.12 Terkait pandangan ini, para jurist di
Tiongkok beranggapan bahwa hal tersebut
tidak dapat dilepaskan dari nilai dan pandangan yang tertanam dalam masyarakat Tiongkok terkait sistem peradilan yang bertujuan
untuk menjaga harmoni dalam masyarakat,
dan oleh karenanya setiap orang yang diduga
melakukan tindak pidana, memiliki kecenderungan untuk diasumsikan bersalah dibandingkan tidak bersalah.13
Gambaran diatas menjelaskan bagaimana terdapat paradoks dalam Asas Praduga
Tidak Bersalah. Maksud dan tujuan dari asas
tersebut, nyatanya mengalami pertentanganpertentangan dalam pelaksanaannya. Akibatnya, asas ini seolah hanya menjadi pengulangan dari kewajiban penuntut umum untuk
membuktikan dan prinsip pemenuhan standar
pembuktian, tanpa benar-benar mampu menyentuh tujuan dari asas itu sendiri. Asas Praduga Tidak Bersalah hanya dipandang sebagai
kewajiban “prosedural”.
Fenomena ini sedikit banyak dipengaruhi oleh dorongan bahwa Asas Praduga Tidak
Bersalah diperlukan untuk dibatasi sedemikian rupa karena dampak yang mungkin ditimbulkan berupa berupa kesulitan-kesulitan
yang dihadapi oleh penuntut umum dalam
sistem peradilan pidana. Penafsiran norma
12 Ibid, 310
13 Ibid, 307-309
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
175
Aristo Pangaribuan
yang terbatas (Limited normative meaning)
dari Asas Praduga Tidak Bersalah inilah yang
dirasa oleh sebagian penulis merupakan bentuk toleransi atas defisitnya peran dan fungsi
Asas Praduga Tidak Bersalah.14
Situasi tersebut tentu tidak terlepas dari
berbagai perkembangan dalam sistem peradilan pidana. Tingginya tuntutan masyarakat
akan adanya pemidanaan dalam proses peradilan dan keinginan masyarakat agar criminal justice system lebih memperhatikan keinginan publik menjadi beberapa faktor yang
melemahkan Asas Praduga Tidak Bersalah.
Perkembangan tersebut sedikit banyak menggeser pandangan dan penerapan dari PI terutama terkait penekanan perlindungan terhadap
terdakwa yang dianggap “traditional criminal
procedure”, sedangkan kebutuhan masyarakat
saat ini lebih menginginkan penekanan kepada perlindungan korban15. Beberapa contoh
dan uraian diatas, pada akhirnya menunjukkan bahwa paradoksikal dalam memaknai dan
mengimplementasikan Asas Praduga Tidak
Bersalah, berkaitan erat dengan adanya pertentangan antara individual interest dan state
interest yang pada akhirnya mempengaruhi
pelaksanaan asas tersebut.
14 Stumer 2010, supra note 2: 52-87; cf. R. Glover,
Review of A. Stumer, ‘The Presumption of Innocence: Evidential and Human Rights Perspectives’, (2011) 15 The International Journal of
Evidence and Proof, no. 1: 89-92; L. Campbell,
‘Criminal labels, the European Convention on
Human Rights and the Presumption of Innocence’, (2013) 76 The Modern Law Review, no.
4: 681-691; T. Weigend, ‘There is Only One Presumption of Innocence’, (2013) 42 Netherlands
Journal of Legal Philosophy, no. 3: 193-204. Cf.
footnote 46, infra.
15 J. Hruschka, ‘Die Unschuldsvermutung in der
Rechtsphilosophie der Aufklärung’, (2000) 112
Zeitschrift für die gesamte Strafrechtswissenschaft, no. 2: 285-300
176
Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah
Di Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia, yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981,
pada bagian penjelasan umum angka 3 huruf c secara eksplisit mengakui Asas Praduga
Tidak Bersalah sebagai salah satu asas yang
mendasari sistem peradilan pidana Indonesia
sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Selain itu, Indonesia juga mengakui Asas
Praduga Tidak Bersalah sebagai salah satu hak
asasi manusia yang paling dasar sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
18 ayat (1) disebutkan bahwa :
Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana, berhak dianggap tidak bersalah
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah
dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dua ketentuan diatas secara umum sudah sejalan dengan pengertian Asas Praduga
Tidak Bersalah yang diakui secara universal
dalam International Covenant on Civil and
Political Rights yang diratifikasi melalui UU
no 12 tahun 2005. Untuk melihat bagaimana
penerapan asas praduga tidak bersalah di Indonesia, maka perlu dilihat melalui normanorma operasional (rules) yang ada di dalam
hukum positif di Indonesia. Pertanyaan yang
harus dijawab adalah, apakah norma-norma
operasional yang ada di dalam hukum positif
di Indonesia sudah memenuhi tujuan pengaturan dari asas praduga tidak bersalah.
Penulis akan mencoba melihat melalui
tahapan-tahapan peradilan. Dimulai ketika
seseorang menyandang status tersangka dan
terdakwa. Secara eksplisit, Pasal 66 KUHAP mengatur “tersangka atau terdakwa
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pada
bagian penjelasan disebutkan “ketentuan ini
adalah penjelmaan dari asas “praduga tak
bersalah””. Dari uraian ketentuan diatas dapat ditarik poin inti dari Asas Praduga Tidak
Bersalahberupa (1) adanya pengakuan Asas
Praduga Tidak Bersalah sebagai asas dalam
sistem peradilan pidana, (2) Asas Praduga
Tidak Bersalah mulai berlaku sejak ditetapkannya seseorang sebagai tersangka, sampai
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (3) Asas Praduga Tidak Bersalah
dibatasi seolah-olah hanya pada beban pembuktian atas kesalahan terdakwa.
Pengakuan adanya Asas Praduga Tidak
Bersalah sejak awal ditetapkannya seseorang
sebagai tersangka sekilas sejalan dengan tujuan dari asas tersebut. Akan tetapi, bila dicermati secara mendalam terdapat perbedaan
fundamental. Sebelum membahas ketentuan
dalam Pasal 66 yang secara eksplisit membatasi makna Asas Praduga Tidak Bersalah
sebatas Burden of Proof, terlebih dahulu akan
dibahas terkait penjelasan umum mengenai
Asas Praduga Tidak Bersalah, khususnya
sepanjang frasa “setiap orang yang disangka...”. Frasa ini secara implisit menempatkan
Asas Praduga Tidak Bersalah tidak secara menyeluruh dalam fase pre-trial. Proses ditetapkannya seseorang sebagai tersangka adalah
berada di pertengahan atau bahkan akhir dari
proses pre-trial.
Proses awal dari hukum acara pidana di
Indonesia dimulai dari tindakan aparat penegak hukum dalam menilai suatu peristiwa
apakah merupakan suatu tindak pidana, atau
bukan. Apabila penegak hukum berpendapat
bahwa suatu peristiwa merupakan suatu tindak pidana, maka dimulailah tahap penyidikan. Tahap penyidikan didefinisikan sebagai
serangkaian tindakan penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti guna membuat terang
Al-Risalah
suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Asas praduga tidak bersalah semestinya sudah dimulai dari dimulainya tahap penyidikan, bukan pada saat adanya penetapan
tersangka.
Makna implisit dari penjelasan umum
yang belum maksimal dalam memanifestasikan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam
KUHAP secara normatif bisa jadi menjadi
penyebab atas pelanggaran-pelanggaran Asas
Praduga Tidak Bersalah. Pada tahun 2005
ditemukan bahwa 81.1% tersangka mengalami penyiksaan guna memperoleh pengakuan
dalam tahap penyidikan.16 Tingginya angka
penyiksaan ini tentu secara paralel menggambarkan tingginya angka pelanggaran Asas
Praduga Tidak Bersalah. Meskipun bukan
satu-satunya faktor penyebab tingginya angka
penyiksaan, namun tentu sudah cukup untuk
menggambarkan bahwa Asas Praduga Tidak
Bersalah tidak benar-benar mampu mencapai
tujuannya. Uraian di atas membuktikan bahwa terdapat gap antara teori dan praktik yang
disebabkan oleh belum maksimalnya aturan
operasional terkait Asas Praduga Tidak Bersalah.
Bila diperhatikan lebih seksama, penjelasan umum terkait Asas Praduga Tidak
Bersalah bertentangan dengan aturan dalam
Pasal 66 KUHAP. Dalam penjelasan umum,
cakupan Asas Praduga Tidak Bersalah lebih
luas dibanding dengan ketentuan dalam Pasal
66. Disebutkannya proses yang terjadi dalam
tahap pra ajudikasi atau pre-trialberupa penetapan tersangka, penahanan dan penuntutan
semestinya membuka peluang implementasi
Asas Praduga Tidak Bersalah secara lebih
maksimal, akan tetapi Pasal 66 KUHAP jus16 Penelitian LBH Jakarta, Mengungkap Kejahatan
dengan Kejahatan: Survei Penyiksaan di Rumah
Tahanan di Wilayah Jabodetabek. Jakarta: LBH
Jakarta, 2008.
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
177
Aristo Pangaribuan
tru sebaliknya mengunci kesempatan tersebut
dengan melokalisir Asas Praduga Tidak Bersalah sebatas di dalam wilayah beban pembuktian.
Selanjutnya, sekalipun dengan asumsi
bahwa Asas Praduga Tidak Bersalah telah
dimulai sejak awal tahap penyidikan, dan dengan mengenyampingkan norma dalam Pasal
66 KUHAP yang secara jelas membatasi penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah, apabila
ditelusuri lebih lanjut, aturan operasional dalam sistem peradilan pidana di Indonesia jelas
masih belum secara efektif memanifestasikan
Asas Praduga Tidak Bersalah. Dengan menggunakan ukuran dari William Laufer diatas,
satu persatu akan dibahas terkait aturan operasional dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang berkaitan.
Di dalam KUHAP, asas praduga tidak
bersalah tidak diterjemahkan di dalam level
operasional (rules) selain dari dalam pasal
66. Oleh karena itu, disini penulis mencoba
menganalisa penerapan Asas Praduga Tidak
Bersalah di Indonesia melalui perbandingan
prinsip-prinsip umum di dalam hukum acara
pidana internasional yang menjadi bentuk
konkret (rules) yang berasal dari Asas Praduga Tidak Bersalah.
Selain dari penetapan tersangka yang telah disinggung diatas, selanjutnya akan dibahas terkait ketentuan mengenai hak untuk
diam (Right to Remain Silent) sebagai bagian
dari Asas Praduga Tidak Bersalah. KUHAP
tidak secara eksplisit mengatur hak seorang
tersangka untuk tetap diam. Meskipun secara
a contrario juga tidak ada kewajiban untuk
memberikan keterangan.17 Akan tetapi den-
gan mengacu pada ketentuan dalam Pasal
189 KUHAP, keterangan seorang terdakwa di
persidangan hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri dan tidak cukup digunakan untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan kata
lain, terdakwa dapat memberikan keterangan
bagi kepentingan pembuktiannya, baik berupa
penjelasannya ataupun sanggahan atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ketentuan-ketentuan ini setidaknya sejalan dengan prinsip
burden of proof yang berada ditangan penuntut umum.
Memang dalam proses peradilan pidana
Indonesia dikenal mekanisme Praperadilan,
yang dapat digunakan untuk menguji sah atau
tidaknya penangkapan dan atau penahanan,
penggeledahan dan atau penyitaan, dan juga
sah atau tidaknya penetapan tersangka. Akan
tetapi mekanisme tersebut menjadi tidak efektif karena tidak terbukanya akses terhadap
bukti-bukti yang dimiliki oleh penuntut umum
sebagai dasar melakukan tindakan-tindakan
tersebut. Contohnya, dalam hal pengujian atas
penggeledahan dan penyitaan, tersangka hanya dapat menguji keabsahan tindakan tersebut
sepanjang penggeledahan dan penyitaan dilakukan terhadap si tersangka, padahal buktibukti yang digunakan untuk memberatkannya
bisa saja diperoleh dari penggeledahan dan
penyitaan terhadap pihak lain, yang bisa jadi
pelaksanaannya dilakukan secara sewenangwenang, namun tersangka tidak memiliki legal standing untuk meminta pengujian atas
keabsahan tindakan tersebut.
Kemudian terkait dengan hak untuk menguji keterangan saksi-saksi yang memberatkan (Confront Adverse Witness). Tersangka
17 Ketentuan dalam Pasal 117 KUHAP mengatur hanya dapat menguji keterangan saksi yang
mengenai pemberian keterangan tersangka da- memberatkannya pada saat perkara sudah
lam Penyidikan, yang tidak mewajibkan tersangka memberikan keterangan, dan juga tidak dengan tegas memberikan tersangka hak untuk tetap
178
diam.
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
memasuki proses persidangan. Dalam tahap
penyidikan, tersangka bahkan tidak memiliki akses untuk mengetahui saksi-saksi yang
memberatkannya, terlebih lagi untuk mengkonfrontir keterangan saksi-saksi tersebut.
Mekanisme konfrontasi dimungkinkan dalam
tahap penyidikan, akan tetapi dalam konteks
kepentingan pemeriksaan, dengan kata lain
untuk kepentingan penuntut umum, bukan
untuk keuntungan si tersangka.
Terakhir, mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Sebelum membahas
bantuan hukum yang efektif, perlu ditekankan
bahwa KUHAP bahkan membatasi kewajibannya dalam memberikan akses bantuan hukum
kepada Tersangka. KUHAP hanya mengatur
kewajiban aparat penegak hukum untuk menyediakan bantuan hukum bagi tersangka,
namun terbatas pada mereka yang terancam
pidana mati atau lima belas tahun atau lebih
atau mereka yang tidak mampu yang diancam
pidana lima tahun atau lebih18.
Uraian diatas adalah uraian terkait implementasi Asas Praduga Tidak Bersalah dalam
ruang lingkup proses peradilan. Seperti yang
sempat disinggung dalam bab sebelumnya,
Asas Praduga Tidak Bersalah tidak hanya
berkaitan dengan proses peradilan itu sendiri,
melainkan juga dengan hal-hal lain di luar
proses yang tidak dapat dipisahkan begitu
saja, seperti halnya pernyataan-pernyataan
dan tindakan-tindakan terhadap seseorang
yang dilakukan oleh seorang aparatur penegak hukum yang sering kali, mengatasnamakan “kepentingan negara” dalam segala tindakannya. Di dalam level ini, penerapan asas
praduga tidak bersalah yang melekat kepada
individu, akan bersinggungan dengan kepentingan negara (common good).
Di Indonesia salah satu aturan yang
18 Pasal 56 KUHAP
Al-Risalah
berkenaan dengan pernyataan aparat penegak
hukum terkait proses tindak pidana terdapat
dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun
2010 Tentang Tata Cara Pelayanan Informasi
Publik di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam peraturan ini, diatur
bahwa penyidik di antaranya dilarang untuk mengungkap identitas tersangka, modus
operandi tindak pidana, motif dilakukannya
tindak pidana dan jaringan pelaku tindak pidana.19 Sekilas, aturan ini tampak relevan
dengan implementasi Asas Praduga Tidak
Bersalahdan bertujuan untuk melindungi hak
individu, akan tetapi kenyataannya, aturan ini
justru dibentuk bukan didasarkan pada atau
sebagai bentuk pelaksanaan Asas Praduga
Tidak Bersalah, melainkan semata-mata untuk tujuan kepentingan berhasilnya proses penyidikan, untuk kepentingan negara atau yang
lebih dikenal dengan istilah common good.20
Seakan-akan, aparatur penegak hukum ingin
menunjukkan bahwa hukum sedang ditegakkan (justice is being done).
Seringkali kita disuguhkan, konferensi
pers dengan tersangka tindak pidana, yang
mengungkap identitas tersangka, motif walaupun belum ada pernyatan bersalah dari pengadilan.
Hal menarik lainnya untuk diperhatikan
adalah, sekalipun aturan terkait pembatasan
19 Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Sistem Informasi Penyidikan.
20 Larangan informasi dalam pasal 7 Perkap Nomor
21 Tahun 2011 dikarenakan dianggap informasi
yang dapat menghambat proses penyelidikan,
mengungkap identitas informan, pelapor, saksi,
dan atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana, mengungkap data intelijen kriminal
dan rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan
transnasional, membahayakan keselamatan dan
kehidupan penyidik dan atau keluarganya dan
membahayakan keamanan peralatan, sarana dan/
atau prasarana penyidik polri.
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
179
Aristo Pangaribuan
informasi tersebut tidak secara langsung ditujukan sebagai penerapan Asas Praduga
Tidak Bersalah, namun disatu sisi dapat dikatakan memuat substansi Asas Praduga Tidak
Bersalah. Akan tetapi kenyataanya, penyidik
dalam praktik sehari-hari juga seringkali melanggar ketentutan-ketentuan tersebut. Adalah hal yang lazim ditemukan di Indonesia,
penyidik memberikan pernyataan-pernyataan
kepada publik terkait proses tindak pidana
baik secara eksplisit maupun implisit terkait
dengan identitas saksi, barang bukti dan tersangka, modus dan motif tindak pidana, serta
jaringan pelaku tindak pidana.
Dari uraian-uraian terkait pengaturan operasional dari Asas Praduga Tidak Bersalah
di Indonesia dengan ukuran beberapa mekanisme teknis dalam proses peradilan pidana
diatas, dapat dilihat bahwa memang terdapat
permasalahan dalam memaknai Asas Praduga Tidak Bersalahdan menurunkannya dalam bentuk aturan operasional. Asas Praduga
Tidak Bersalahselain masih dimaknai secara
sempit sebagaimana terdapat dalam Pasal
66 KUHAP, ternyata juga tidak menjadi esensi pada mekanisme-mekanisme lain dalam
proses peradilan yang sebenarnya berkaitan
dengan Asas Praduga Tidak Bersalah, sehingga nilai dari Asas Praduga Tidak Bersalah itu
sendiri mengalami defisit dari tujuan hukum
dibentuknya asas tersebut.
Perbandingan Penerapan Asas Praduga
Tidak Bersalah di Berbagai Negara
Amerika Serikat
Argumen terkait penerapan Asas Praduga
Tidak Bersalah diperkuat dengan kenyataan
bahwa terdapat keberagaman pelaksanaan
asas tersebut. Suatu studi di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa Asas Praduga Tidak
180
Bersalah adalah salah satu asas yang paling
seringkali tidak dipahami secara tepat. Pada
tahun 1991, National Jury Project merilis hasil survey berupa 46.1% dari potensial juror
beranggapan bahwa apabila seseorang diadili
di pengadilan maka orang tersebut kemungkinan bersalah melakukan suatu tindak pidana.21
Di California, 48% potential juror bahkan
tidak memahami bahwa seorang terdakwa
harus dianggap tidak bersalah sampai dapat
dibuktikan sebaliknya.22
Salah satu contoh kasus di Amerika yang
berkaitan erat dengan Asas Praduga Tidak Bersalah adalah kasus O.J.Simpson, yang pada
masanya merupakan salah satu kasus yang
mendapat perhatian besar dari publik.Simpson
merupakan seorang aktor terkenal dan mantan
atlet football yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap istrinya pada 12 Juni 1994.
Simpson yang sebelumnya pernah terlibat
dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga, menjadi orang yang diduga kuat membunuh istrinya. Bukti-bukti yang ditemukan
oleh polisi berupa adanya darah di mobil yang
terparkir di depan kediamannya, ditemukannya sarung tangan di tempat kejadian perkara
yang mirip dengan yang ditemukan di luar rumah Simpson, yang di kemudian hari kedua
bukti tersebut menunjukkan ada keterkaitan
Simpson dalam pembunuhan tersebut.23 Kasus O.J.Simpson, yang pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah, adalah salah satu contoh
kasus dari tidak efektifnya pelaksanaan asas
praduga tidak bersalah. Kecenderungan penyidik untuk menduga O.J Simpson sebagai
21 Hiroshi Fukurai, University of California. Is the
O.J. Simpson Verdict and Example of Jury Nullification? Jury Verdicts, Legal Concepts, and Jury
Performance in a Racially Sensitive Criminal
Case: 4.
22 Ibid.
23 Dr. Scott Christianson, Case Study:OJ Simpson
From Bodies of Evidence
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
pelaku pembunuhan tidak dapat dilepaskan
dari “track record” nya sebagai mantan pelaku
domestic violence dan bias rasial kepadanya
sebagai orang kulit hitam.24
Pandangan bahwa keberagaman pelaksanaan Asas Praduga Tidak Bersalah yang
disebabkan oleh adanya hal-hal yang bersifat
bias juga dapat dilihat dalam sistem peradilan pidana di Meksiko berupa penyesuaian
kebijakan sistem peradilan pidana untuk memenuhi kebutuhan public safety. Tingginya
angka kriminalitas mendorong negara untuk
“mengefektifkan” proses peradilan yang ada,
yang salah satunya berupa perubahan aturan
terkait penahanan prapersidangan dan mekanisme penangguhannya. Dalam aturan tersebut,
diatur salah satunya bahwa orang yang memiliki rekam jejak melakukan tindak pidana
tidak diijinkan untuk mendapatkan penangguhan penahanan.25 Kecenderungan untuk mengutamakan public safety berdampak langsung
pada tingginya angka penahanan dengan dalih menjaga keamanan, mengurangi kemungkinan terjadinya tindak pidana dan sebagai
alat untuk “menghentikan” orang-orang yang
berbahaya.26 Ketentuan ini tentu tidak sejalan
dengan maksud dan tujuan dari Asas Praduga Tidak Bersalah yang salah satunya adalah
memberikan perlindungan kepada tersangka/
terdakwa untuk mendapatkan treatment dari
aparat penegak hukum layaknya orang yang
tidak bersalah, atau dengan kata lain, membiarkan terderogasinya nilai perlindungan individu dengan alasan kepentingan publik.
Fenomena lain yang berkaitan dengan
Asas Praduga Tidak Bersalah adalah dalam
24 OJ Simpson Case. Criminal Investigation. Case
Study: Physical Evidence
25 Aguilar Garcia: Presumptionof Innocence and
Public Safety, 3.
26 Angka penahanan di Meksiko meningkat 20 persen sejak 2005 sampai Juni 2014. Aguilar Garcia
Al-Risalah
kaitannya dengan beban pembuktian kepada
seseorang yang diduga memiliki properti yang
diperoleh secara melawan hukum untuk membuktikan bahwa propertinya diperoleh secara
melawan hukum. Ketentuan ini memungkinkan dilakukannya perampasan atas aset seseorang yang tidak terbukti melakukan tindakan
pidana.27 Di Australia dan Kanada contohnya,
membentuk kebijakan ini atas dasar kesulitankesulitan yang dialami oleh penuntut umum
dalam membuktikan kesalahan seseorang dan
melakukan perampasan aset.28 Ketentuan ini
tentu juga bentuk penegasian atas elemen dari
Asas Praduga Tidak Bersalah berupa burden
of proof yang seharusnya berada pada negara.
Di Inggris dan Wales, pelaksanaan Asas
Praduga Tidak Bersalahyang diantaranya
bertujuan untuk melindungi seseorang dari
wrongful conviction, nyatanya juga sulit terlaksana. Hal ini disebabkan oleh aturan hukum yang ada membuka besar kemungkinan
untuk terlanggaranya asas tersebut berupa
lemah dan permisifnya pengaturan mengenai
rules of evidence.29
Uni Eropa
Salah satu perkembangan terbaru terkait
dengan penerapan Asas Praduga Tidak Bersalahyang dapat dijadikan sebagai contoh
adalah melalui dibentuknya European Union
Directivepada bulan Maret 2016 yang berisi
aturan standar minimal dari Asas Praduga
Tidak Bersalah dalam ruang lingkup Uni Ero-
27 Anthony Gray, Constitutionally Protecting the
Presumption of Innocence, The University of
Tasmania Law Review Vol 31 No 1 (2012): 135
28 Ibid, 136 & 152
29 Michael Naughton, How the Presumption of
Innocence Renders the innocent vulnerable to
wrongful convictions. Irish Journal of Legal
Studies: 53
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
181
Aristo Pangaribuan
pa.30 Uni Eropa dapat dijadikan contoh bagaimana suatu standard diterjemahkan dalam
bentuk konkret melalui norma-norma operasional (rules).
Dalam EU Directive ini, diatur hal-hal
secara konkret, di dalam level operasional diantaranya berupa keberlakuan asas praduga
tidak bersalah sejak awal dimulainya proses
peradilan, larangan pernyataan dari public
officials yang dapat merefleksikan opini atas
kesalahan seseorang kepada publik, kewajiban menyediakan akses untuk membela diri,
beban pembuktian, hak untuk tetap diam dan
non-self incrimination, hingga larangan untuk
mempresentasikan tersangka dalam kondisi
tertentu, seperti diborgol dan dirantai, yang
dapat mengarahkan pada opini bahwa ia bersalah.31
Dalam EU Directive ini, dapat dilihat
bahwa terdapat upaya untuk memaknai Asas
Praduga Tidak Bersalah secara menyeluruh,
baik dalam keseluruhan proses peradilan, dan
tindakan-tindakan yang berkaitan diluar peradilan.
Dengan mengacu pada permasalahan
yang penulis telah coba identifikasi dan melihat contoh dari EU Directive tersebut, penulis berpandangan bahwa sebelum membuat
aturan turunan dari Asas Praduga Tidak Bersalah, harus terlebih dahulu dipahami bahwa
asas tersebut bertujuan untuk melindungi
kepentingan Individu. Kepentingan negara
dalam menanggulangi kejahatan, semestinya
tidak dapat dijadikan dasar untuk menderogasi nilai dari maksud dan tujuan Asas Praduga
Tidak Bersalah.
Asas Praduga Tidak Bersalah ini harus
diartikan sebagai asas yang paling dasar untuk memberikan proteksi kepada orang yang
tidak bersalah. Karena adalah suatu kejahatan besar, apabila negara dengan kekuasaannya salah dalam menghukum seseorang. Oleh
karena itu, tujuan dari dibentuknya Asas Praduga Tidak Bersalah ini adalah untuk tujuan
individu, dalam hal melindungi orang yang
tidak bersalah ketika dihadapkan pada proses
peradilan. Asas ini tidak dapat ditafsirkan lain,
karena asas ini menciptakan suatu standard,
dimana standard itu adalah proteksi terhadap
hak individu dari kekuasaan negara yang dapat melanggar hak individu seseorang (state
intrusive action). Apabila dalam rangka mencapai standar tersebut ternyata juga memberikan perlindungan bagi orang yang nantinya
terbukti bersalah atapun ternyata memberikan dampak penegakan hukum menjadi lebih
rumit, maka hal tersebut haruslah dianggap
sebagai konsekuensi dalam melindungi hak
individu orang yang tidak bersalah (unavoidable by product).32
Kedua, perlu dipahami pula bahwa untuk
mencapai maksud dan tujuan dari Asas Praduga Tidak Bersalah, diperlukan pemahaman
secara menyeluruh, tidak lagi parsial dalam
artian sebatas pada proses peradilan saja, atau
bahkan hanya pada saat proses persidangan
saja. Asas Praduga Tidak Bersalah jugaharus
meliputi tindakan-tindakan di luar proses formal peradilan.
Sejalan dengan EU Directive, menurut
ECHR dengan mengacu pada kasus-kasus
di berbagai negara di Eropa, Presumption of
Innocence juga harus diimplementasikan da30 EU Directive 2016/343 of the European Parlia- lam tahap persidangan dalam konteks proses
ment and of the Council of 9 March 2016 on the peradilan, prejudicial statements, staments by
strengthening of certain aspects of the presumption of innocent and of the right to be present at
the trial in criminal proceedings
31 EU Directive article: 11-30
182
32 Akhil Reed Amar. The Future of Constitutional
Criminal Procedure. Yale Law School Legal
Scholarship Repository Vol.33 (1-1-1996): 1127
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
judicial authorities, statement by public officials, dan adverse press campaign.33
Selanjutnya, sifat dari Asas Praduga Tidak
Bersalah yang pada dasarnya juga bertujuan
untuk pengingat bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya dan menjaga
mind-set untuk membuka kemungkinan bahwa terdakwa tidak bersalah, sudah semestinya
diimplementasikan dalam bentuk membuka
ruang dialektis untuk menguji segala tindakan
aparat penegak hukum baik dalam tahap pretrial dan juga persidangan dengan benar-benar
menerapkan prinsip equal arms antara penuntut umum dan terdakwa.34
Selanjutnya, untuk benar-benar dapat
menerapkan Presumption of Innocence , tahap yang dapat dilakukan adalah merubah
pola pikir aparat penegak hukum, khususnya pada tahap pretrial untuk segala tindakan
yang memiliki kecenderungan presumption of
guilt.35
Kemudian, perbaikan juga harus menyasar pada pembuat kebijakan agar tidak
mengorientasikan sistem peradilan pidana
sebatas conviction rate melainkan dari tujuan
hukum acara pidana itu sendiri.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian diatas, asas praduga tidak bersalah di Indonesia masih merupakan suatu asas hukum yang masih memerlukan
33 European Court Human Rights. Guide on Article
6 of the European Convention on Human Rights
36-40
34 The recent discussion that has arisen in the Netherlands in the wake of a number of miscarriages
of justice that have come to light; see for example
K. Rozemond, ‘Slapende rechters, dwalende rechtspsychologen en het hypothetische karakter
van feitelijke oordelen’, (2010) 39 Rechtsfilosofie en Rechtstheorie, no. 1, pp. 35-51.
35 Michael Naughton, Op. Cit, 53.
Al-Risalah
norma-norma operasional di dalam mencapai tujuan asas tersebut. Penulis menyatakan
bahwa asas praduga tidak bersalah merupakan
suatu Standard yang mempunyai tujuan utama melindungi hak individu seseorang yang
menghadapi suatu proses pidana. Suatu asas,
untuk mencapai tujuan utama tersebut, diperlukan perangkat norma-norma operasional
(rules) yang harus dituangkan di dalam hukum positif. Norma-norma operasional tersebut adalah suatu tahap aturan konkret, tentang
bagaimana asas praduga tidak bersalah dapat mencapai tujuan utamanya.Aturan-aturan
konkret tersebut harus dituangkan di dalam
setiap tahap peradilan, dimulai dari tahap pertama ketika seseorang dijadikan tersangka,
sampai jatuhnya putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Ketiadaan norma-norma operasional di
dalam hukum positif di Indonesia inilah yang
kemudian menjadikan asas praduga tidak bersalah mengandung paradoks di dalam pengertiannya. KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman
dan UU Hak Asasi Manusia hanya menjadikan
asas praduga tidak bersalah sebuah Standard
tanpa seperangkat Rules untuk mencapai tujuannya. Sehingga, tidak heran banyak fenomena-fenomena seperti konferensi pers dengan
tersangka kemudian publikasi langsung sidang
pidana yang secara jelas sebenarnya melanggar asas praduga tidak bersalah.
Sebagai rekomendasi peraturan dalam
bagaimana menerapkan suatu asas praduga
tidak bersalah ke dalam bentuk konkret, Uni
Eropa melalui EU Directive mencoba menjabarkan hal tersebut secara holistik, dengan
membentuk suatu petunjuk khusus bagaimana
menerjemahkan asas praduga tidak bersalah
kedalam norma-norma operasional yang seharusnya dijalankan oleh aparatur penegak
hukum.
Hukum acara pidana pada dasarnya
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
183
Aristo Pangaribuan
bertujuan untuk melindungi individu dan
masyarakat sekaligus. Setiap rangkaian prosesnya haruslah sesuai dengan standar hak
asasi manusia, termasuk di dalamnya berupa
adanya perlindungan terhadap hak individu
yang paling dasar berupa asas praduga tidak
bersalah. Kepentingan masyarakat yang diwakili oleh negara semestinya tidak dapat
dijadikan legitimasi untuk menderogasi hak
individu, karena tanpa adanya perlindungan
efektif terhadap individu, maka hukum pidana
tidak dapat dikatakan telah mencapai tujuannya.
Bibliography
Journals
Alexander, Larry. “Incomplete Theorizing:
A Review Essay of Cass R. Sunstein’s
Legal Reasoning and Political Conflict”,
Notre Dame Law Review University of
Notre Dame, 1997.
Christianson, Scott. “Case Study:OJ Simpson”. Bodies of Evidence
Dodson, Scott.“The Complexity of Jurisdictional Clarity.” Virginia Law Review 97,
No. 1, 2011
Fukurai,Hiroshi.“Is the O.J. Simpson Verdict
and Example of Jury Nullification? Jury
Verdicts, Legal Concepts, and Jury Performance in a Racially Sensitive Criminal Case.” International Journal Of
Comparative And Applied Criminal Justice Fall22, No. 2, 1998.
Garcia, Ana Aguilar. “Presumption of Innocence and Public Safety: A Possible Dialogue.” Stability: International Journal
of Security & Development.
Gelatt, Timothy A. “The People’s Republic
of China and the Presumption of Innocence.” Journal of Criminal Law and
Criminology 73, Issue 1, 1982
184
Gray, Anthony. “Constitutionally Protecting
the Presumption of Innocence.” The University of Tasmania Law Review 31 No
1,2012
Hamilton, C. “The Presumption of Innocence
in Irish Criminal Law: Recent Trends and
Possible Explanations.” Irish Journal of
Legal Studies, 2011
Jong, Ferry de and Lent, Leonie van. “The
Presumption of Innocence as a Counterfactual Princilpe.” Utrecht Law Review
12, Issue 1, 2016
Laudan, Larry. “The Presumption of Innocence: Material or Probatory”. Legal
Theory Cambridge University Press 11,
Issue 4, 2005
Naughton, Michael. “How the Presumption
of Innocence Renders The Innocent Vulnerable To Wrongful Convictions.” Irish
Journal of Legal Studie 2, Issue 1, Article
4
Weigend, T. “Assuming that the Defendant
is not Guilty: The Presumption of Innocence in the German System of Criminal
Justice.” Criminal Law and Philosophy,
no. 2, 2014
Books
LBH Jakarta, Mengungkap Kejahatan dengan
Kejahatan: Survei Penyiksaan di Rumah
Tahanan di Wilayah Jabodetabek. Jakarta: LBH Jakarta, 2008.
Open Society. Presumption of Guilt: The
Global Overuse of Pretrial Detention.
Open Society Foundation, 2014
Laws
EU Directive 2016/343 of the European Parliament and of the Council of 9 March
2016 on The Strengthening Of Certain
Aspects Of The Presumption Of Innocent
And Of The Right To Be Present At The
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
Al-Risalah
Paradoks Asas Praduga Tidak Bersalah
Trial In Criminal Proceedings
Modern Federal Jury Instructions. Criminal
Eropean Court Human Rights. Guide on ArProcedure 3.02.
ticle 6 of the European Convention on Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2011 TenHuman Right.
tang Sistem Informasi Penyidikan.
Al-Risalah
Vol. 16, No. 2, Desember 2016
185
Download