ketuhanan - WordPress.com

advertisement
KETUHANAN
KONSEP KETUHANAN DALAM BUDDHISME NICHIREN SHOSHU
PENDAHULUAN
Tuhan adalah sesosok figur yang digambarkan mempunyai kekuasaan yang besar dan paling
mengetahui segalanya, bahkan dalam beberapa pemikiran bahwa semua kehidupan manusia dan alam
semesta ini diatur dan ditentukan oleh sosok ini. Pemikiran seperti ini telah membuat pandangan
kita sebagai manusia bahwa Tuhan itu berbentuk (personal), karena merupakan sosok personal
maka Tuhan juga bisa menghukum dan menjatuhkan malapetaka serta segala macam bentuk
peringatan kepada kita manusia. Pemahaman demikian meletakkan posisi kita sebagai manusia
menjadi sangat lemah dan tidak berdaya terhadap segala hal yang telah ditentukan oleh Tuhan
tersebut, kita menjadi pasrah pada yang namanya takdir, nasib dan kehidupan itu sendiri.
Pemahaman terhadap konsep keTuhanan seperti ini tentu saja membentuk pola pikir dan cara
pandang kita terhadap kehidupan maupun persoalan. Mempersonifikasikan sosok tuhan ditujukan
agar kita menjadi tunduk, takut dan tidak berani melakukan sesuatu yang telah ditetapkan oleh
Tuhan tersebut.
Pemikiran tentang Tuhan tentu saja bervariasi tergantung pada agama apa yang dianut,
agama Buddha tidak memandang Tuhan dengan cara pandang seperti diatas. Tuhan itu sendiri tidak
dapat dipersonifikasikan, melainkan Tuhan itu tidak berbentuk dan merupakan suatu zat tunggal
dari segala gejala di alam semesta dan manusia itu berproses dengan sendirinya.
Tembok yang bersih, terkena sinar matahari dan dibasahi terus menerus akan tumbuh lumut.
Yang menjadi pertanyaan, Dari mana datangnya lumut ? Apakah Tuhan yang menciptakan ? Dimana
Tuhan berada ketika menciptakan lumut ? Kenapa kita tidak dapat melihatnya ? Apakah saya bisa
dikatakan sebagai Tuhan jika saya menumbuhkan lumut ditembok tersebut ? Semua pertanyaan
tersebut dapat kita jawab, bila kita dapat memahami secara tepat tentang konsep ketuhanan
dalam agama Buddha, maka segala fenomena dan gejala dapat kita pahami secara tepat yang pada
dasarnya bersumber dari sifat keTuhanan itu sendiri.
KETUHANAN
Pengertian Ketuhanan dalam Agama Buddha memiliki kompleksitas dan prinsip yang sangat
berbeda dengan konsep keTuhanan yang selama ini dikenal, dimana dalam agama lain terdapat
pengakuan terhadap Tuhan yang menciptakan dunia ini beserta isinya. Tuhan dalam pengertian
seperti ini telah menciptakan bahwa Tuhan itu adalah sesosok personal dan mempunyai bentuk yang
lebih rill. Didalam Agama Buddha tidak mengenal Tuhan sebagai personal, hal ini dapat terlihat
dalam pendapat D.T Suzuki (1963) dimana ia mengatakan bahwa dalam buddhisme tidak dikenal
adanya eksistensi suatu zat atau makhluk yang mencipta manusia beserta segala makhluk didunia
ini, demikian pula pernyataan dari Glasenapp (1963) menyatakan bahwa Buddhisme tidak dikenal
adanya Tuhan yang bersifat personal abadi dan permanen (Buddhism…cannot acknowledge the
existence of an eternal, permanent and personal God), Dikatakan bahwa ;”Buddhism is a religion of
eternal world law unlike the western religions of historic revelation. It does not teach one single
world process of six thousand years which started with a creation from nothing, and which will
end with the destruction of the world” (hal.70).
Agama Buddha memang tidak mengenal Tuhan secara personal, tetapi bukan berarti Agama
Buddha dapat dikatakan Agama Atheis (tidak percaya tuhan), hal ini juga dibahas oleh Glasenapp
(1966) yang mengatakan bahwa Agama Buddha adalah Agama Non Theis, karena definisi terhadap
Tuhan itu sendiri menjadi berbeda karena perbedaan prinsip dan cara pandang. Jadi Agama
Buddha dikatakan sebagai sebuah Agama atau tidak adalah tergantung pada cara kita terhadap
definisi agama itu sendiri. Agama Buddha tidak membicarakan Tuhan itu secara personal tetapi
pada intinya sifat Ketuhanan itu sendiri terwujud dalam hukum yang berlaku secara universal di
dalam alam semesta ini dan hukum terwujud dalam segala gejala alam semesta dan dalam diri
manusia itu sendiri. Dalam Agama Buddha Niciren Syosyu, Hukum itu sendiri adalah NAM MYOHO
RENGE KYO, yang melandasi segala fenomena yang terjadi pada manusia dan alam semesta ini.
Agama Buddha tidak mengenal istilah hukuman dan yang terhukum, tetapi semua berjalan
sesuai dengan sebab dan akibat yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Hukum universal ini berlaku
adil dan tanpa mengenal batas apap juga baik bagi manusia itu sendiri maupun alam semesta, sebab
yang baik akan menimbulkan akibat yang baik begitu pula sebaliknya. Hal ini dikatakan Glasenapp
dalam bukunya;”All morally positive or negative actions are subject to it, so that each good action
reaps its own reward, and each evil meets its punishment.”(hal.49)
HUKUM TUNGGAL
Dan bahwa segala yang berlaku di seluruh alam semesta adalah karena satu hukum tunggal
atau NAM MYOHO RENGE KYO itu sendiri. Ini berarti segala kejadian dan segala gejala dalam
alam semesta bersumber pada Hukum Tunggal tersebut, hal ini dikatakan dalam sutera perihal
makna-makna yang tak terhingga “makna-makna yang tak terhingga bersumber dari hukum tunggal”
(W.E.soothil hal.12). Hukum Tunggal ini sangat sulit dimengerti dan dipahami, hanya mereka yang
mampu menyerap kesadaram Buddha yang akan mengerti. Untuk itu Sang Buddha Sakyamuni
berusaha menjelaskan hal yang sulit ini dengan berbagai cara dan perumpamaan dengan harapan
ketika umat manusia telah mencapai Kesempurnaan (Buddha), maka hal ini dengan sendirinya akan
menjadi jelas adanya. Kearifan dari sang Buddha dapat kita lihat dalam ceramahnya kepada salah
satu murid utamanya, sariputra, ”Hukum yanmg mengagungkan seperti ini hanya dibabarkan oleh
para tathagata pada kesempatan yang jarang terjadi, seperti halnya bunga udumbara yang terlihat
sekali saja dalam jangka waktu yang panjang….hukum ini tidak dapat dijangkau dengan daya pikir
pembedaan dan hanyalah para Budhha yang mampu memahaminya” (Saddharmapundarika Sutra,
hal.34). Jadi jelaslah bahwa Hukum tunggal yang agung ini hanya dapat di mengerti dan di pahami
bila kita mencapai kesadaran Buddha.
Mengingat bahwa keTuhanan adalah sesuatu yang tidak mungkin terjangkau dengan akal
pikiran manusia, maka Buddha Sakyamuni berusaha dengan berbagai cara dan perumpamaan
mencoba untuk menjelaskan tentang konsep keTuhanan tersebut. Sang Buddha ingin menjelaskan
bahwa seluruh ajaran Buddha itu tidak ada yang palsu, tetapi untuk menerangkan inti hakikat dari
keTuhanan itu di gunakan berbagai cara agar seluruh umat dapat mengerti. Sang Buddha
bersabda; ”wahai Sariputra! semua ajaran-ajaran ini di maksudkan untuk memantapkan
pengetahuan sempurna dari salah satu kendaraan Buddha. Wahai Sariputra ! diseluruh alam
semesta ini sesungguhnya tidak terdapat dua kendaraan apalagi tiga.” (Saddarmapundarika-Depag
RI Hal.36). Di sini Sang Buddha ingin menjelaskan bahwa dari seluruh ajaran yang dibabarkan
sesungguhnya, beliau hanya ingin menyampaikan satu kendaraan saja.
Tujuan kelahiran Buddha Sakyamuni hanya satu yakni membabarkan Satu kendaraan Buddha
yang tunggal yang kemudian di terjemahkan oleh Buddha Nichiren Daishonin dalam mantra Agung
NAM MYOHO RENGE KYO, dalam satu kata itulah yang tercakup pengertian keTuhanan, sesuatu
yang tunggal yang menjadi sumber pokok dari seluruh alam semesta ini. Dalam Bab X, Dharma
Duta, Saddarmapundarika – sutra dikatakan ; ”lebih-lebih sudah kemokshaan Sang Tathagata jika
ada seseorang yang mendengar meski hanya sebait atau sepatah kata dari Saddarmapundarikasutra yang menakjubkan ataupun dengan sekelumit perasaan suka padanya, maka aku tetapkan
mereka juga akan mencapai penerangan Agung”
Kata ”Sepatah Kata”oleh Buddha Nichiren Daishonin di wujudkan dalam mantera Agung
Nam Myoho Renge kyo, adapun pengertian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
NAM atau NAMAS
Dalam bahasa sansekerta dari sebutan Nam Myoho Renge Kyo mempunyai makna ; Menyerahkan
/Memasrahkan Jiwa Raga (Kimyo, Bhs.Jepang). Hal ini mencakup pemasrahan kedua segi yaitu;
manusianya adalah Buddha dan dharmanya adalah kebenaran Tertinggi yaitu Myoho Renge Kyo.
Kedua hal ini diungkapkan Buddha Niciren Daisyonin dalam Gohonzon yang merupakan
kemanunggalan manusia dan hukum.
MYOHO adalah Dharma Gaib
Myo berarti tidak dapat dipahami atau diluar pikiran manusia yang menunjukkan hakikat jiwa sejati
dan Ho atau Dharma merupakan perwujudan gejalanya.
RENGE berarti Bunga Teratai
Teratai berbunga dan berbuah secara bersamaan. Hal ini menunjukkan adanya keserentakan sebab
akibat yang merupakan satu ungkapan Dharma Gaib (Myoho). Ini juga menunjukkan pada hukum
sebab akibat (Karma) yang universal. Selain itu, teratai tumbuh dan berbunga di kolam berlumpur
yang melambangkan munculnya keBuddhaan dari dalam jiwa seorang manusia yang penuh dengan 5
racun.
KYO berarti Sutera atau Suara
Kata KYO secara harfiah berarti sutera, suara atau ajaran seorang Buddha. Aksara KYO berasal
dari pengertian benang, bahan pakaian yang panjang dan memiliki arti benang akal, jalan hukum.
KYO berarti sebagai ajaran yang harus dilestarikan dan merupakan kebenaran abadi dan tidak
berubah.
Memahami prinsip keTuhanan dalam agama Buddha tidak bisa hanya dipahami secara arti kata saja,
tetapi jauh dari itu kita harus mampu memahami inti dari keTuhanan itu sendiri. Berikut ini kita
berusaha membuka cara pandang dan pengertian kita mengenai prinsip keTuhanan itu sendiri
khususnya dalam agama Buddha Niciren Syosyu.
HUKUM SEBAB AKIBAT
Aspek ketuhanan dalam agama Buddha adalah hukum sebab akibat, bahwa seluruh gejala dan
fenomena alam semesta itu berawal dari sebab dan akibat, tidak ada sebuah kekuatan yang
menguasai, mengatur dan menciptakan. Agama Buddha tidak mengenal hukuman dan terhukum,
karena segala perbuatan baik maupun buruk akan mendapat akibatnya masing-masing begitu juga
halnya tidak ada teori penciptaan tetapi terdapat “Teori tercipta”. Hukum sebab akibat adalah
hukum universal tanpa mengenal batas baik bangsa, negara dan sebagainya. Seluruh gejala yang
terjadi pada diri manusia dan alam semesta bersumber dari hukum ini. Seluruh alam semesta
beserta isinya tercakupi dalam hukum ini, tidak ada sebab maka tidak ada akibat, timbulnya sebab
maka timbulnya akibat. Pemahaman dan keyakinan akan hukum sebab akibat merupakan pintu
gerbang untuk memahami secara utuh prinsip keTuhanan dalam agama buddha. Agama buddha
adalah agama yang bulat dan utuh, sehingga semua gejala tidak dapat dilihat secara terpisah-pisah
melainkan adalah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Agama buddha berdasarkan seutuhnya pada
hukum sebab dan akibat.
Sang buddha sakyamuni mengatakan dalam Saddharmapundarika sutera Bab II, Upaya
Kausalya antara lain :
“ Wahai Sariputra, tahukah engkau sebabnya mengapa aku katakan bahwa para buddha yang agung
itu hanya muncul di dunia ini hanya karena satu alasan yang penting saja ? hal itu karena para
buddha yang agung itu ingin berkehendak untuk membuat semua makhluk hidup agar membuka
matanya terhadap pengetahuan sang buddha sehingga mereka dapat mencapai jalan yang suci...
karena mereka ingin menunjukkan para makhluk hidup akan pengetahuan sang buddha, maka mereka
muncul di dunia....inilah sebabnya mengapa para buddha itu muncul di dunia hanya karena sebabsebab yang sangat besar saja.”
PRINSIP JIWA KEKAL ABADI
Pemahaman terhadap Prinsip keTuhanan dalam agama buddha, harus juga melihat pada satu
aspek yang sangat penting yaitu prinsip jiwa kekal abadi. Sang buddha dalam salah satu
pembabarannya pada Bab XVI Saddharmapundarika sutera berbunyi :
“....Tidak ada kelahiran maupun kematian, pergi maupun datang, hidup maupun mati, yang nyata
maupun tidak nyata...” dan juga diterangkan bagaimana beliau mencapai kesadaran buddha sejak
koti asemkheya, “ Sejak aku mencapai ke-Buddhaan, kalpa-kalpa yang telah aku lalui adalah beriburibu koti asemkheya tahun yang tak terbatas.” Jelas dalam kalimat sutera ini, buddha ingin
mengatakan bahwa jiwa itu kekal abadi.
Hal yang membedakan antara agama buddha dengan agama yang lain adalah keyakinan akan
jiwa yang kekal abadi, bahwa makhluk hidup setelah kematian akan mengalami proses untuk
mencapai kelahiran kembali. Semua gejala itu berjalan dengan sendirinya sesuai dengan prinsip
hukum sebab akibat yang mutlak. Kelahiran dan kematian bukanlah sesuatu hal yang ditentukan
atau diciptakan tetapi merupakan proses dari hukum sebab akibat.
Dalam salah satu GoshoNya yang berjudul Sanze Syobuce Sokanmon Kyoso Hairyu, buddha
Niciren Daisyonin menulis “Tathagata kesadaran pokok tiga aspek ini (Trikaya) ini menjadikan
sepuluh penjuru alam semesta sebagai badannya, rohaninya dan perawakannya /penampilannya .”
Apa yang dimaksud dengan “Tathagata kesadaran pokok “ dalam kalimat diatas adalah jiwa trikaya,
sedangkan sepuluh penjuru alam semesta berarti seluruh alam semesta. Jadi trikaya jiwa kita
adalah satu dengan alam semesta.
Aspek Nirmanakaya pada jiwa manusia adalah satu dengan hukum jasmani/bentuk dari alam
semesta karena seluruh alam semesta adalah perawakannya/ bentuk nyatanya. Sambhogakaya jiwa
manusia pun satu denga hukum jiwa alam semesta, sedangkan Dharmakaya sebagai “Aku-Nya” Jiwa
manusia adalah, satu dengan badan jiwa alam semesta yaitu hakekat jiwa alam semesta. Jiwa
manusia adalah satu dengan alam semesta bukan berarti jiwa manusia akan lenyap sesudah
kematian, melainkan ia menjadi sunyata. Sunyata berarti hampa atau kosong, tetapi ini bukan
berarti tidak ada. Jiwa setelah kematian akan berpadu dengan alam semesta dan akan menjadi
nyata kembali setelah adanya sebab jodoh, waktu dan bakat yang tepat sehingga akan terlahir
kembali.
MANDALA PUSAKA GOHONZON
Setelah buddha Niciren Daisyonin menyatakan matera agung Nam Myoho Renge Kyo, maka
pada tahun 1279 beliau mewujudkan hukum tunggal (Ke-Tuhanan) itu dalam bentuk mandala pusaka
pemujaan gohonzon dari sandaihiho. Hukum sadharmapundarika sutera telah diwujudkan oleh
buddha Niciren Daisyonin sebagai Nam Myoho Renge Kyo dan dalam wujud nyata sebagai Gohonzon,
yang merupakan perpaduan antara manusia dan hukum yang tidak dapat dipisahkan ( Ninpo Ika).
Mandala pusaka Gohonzon ini diambil dari makna tersirat Sadharmapundarika sutera Bab
XXI Kekuatan Gaib sang tathagata yakni :
“ Pada hahikatnya , segala hukum yang dimiliki sang tathagata (tiga hukum rahasia agungsandaihiho). Segala kekuatan gaib yang sempurna dan agung dari sang tathagata (Altar sila ajaran
pokok sadharmapundarika sutera – Gohonzon) dan keadaan yang sangat begitu dalam dari sang
tathagata (mantera agung ajaran pokok sadharmapundarika sutera – Nammyhorengekyo).
Semuanya dinyatakan , dipertunjukkan, diungkapkan serta dijelaskan di dalam sutera ini.”
Berdasarkan kalimat sutera tersebut, buddha pokok Niciren Daisyonin mewujudkan tiga
hukum rahasia agung (sandaihiho) sekte niciren syosyu sebagai berikut:
1. Mandala Pusaka Pemujaan Ajaran Pokok Saddharmapundarika Sutera yakni Gohonzon.
2. Mantera Agung Ajaran Pokok Saddharmapundarika Sutera yakni Nammyohorengekyo.
3. Altar sila ajaran pokok Saddharmapundarika Sutera yakni Kuil Pusat Taisekiji, Jepang.
Dengan demikian mandala Gohonzon bukanlah sesuatu yang dibuat atas kehendak dari
buddha Niciren Daisyonin tetapi merupakan ajaran tersirat dari sadharmapundarika sutera yang
dibabarkan oleh sang buddha sakyamuni. Buddha Niciren Daisyonin berhasil menyadari makna
tersebut dan mewujudkan Gohonzon, sebagai upaya untuk menyelamatkan seluruh umat manusia
dan mencapai kebahagiaan mutlak.
Tanya jawab
P : Agama-agama yang lain dapat menceritakan bagaimana asal mula manusia, bagaimana
konsep agama buddha mengenai hal ini?
J : Jangka waktu yang diperkirakan para ahli antara saat terbentuknya hidup organik di planet kita
dan munculnya manusia adalah tiga milyar tahun. Selama itu bentuk hidup yang tidak terhitung
banyaknya muncul dan mati. Penjelasan pada beberapa agama tentang teori penciptaan atau asal
usul manusia sangat bertentangan dengan kenyataan ilmiah dan penemuan bukti otentik.
Agama buddha tidak mengenal adanya sesosok personal atau kekuatan yang menciptakan manusia
dan alam semesta (Tuhan) tetapi segala gejala baik makhluk hidup maupun alam semesta terjadi
dan berproses dengan kekuatannya sendiri. Sebagai contoh : Lumut dapat tumbuh didinding yang
bersih, hal ini karena adanya jodoh matahari, air dan udara sehingga lumut itu dapat tumbuh.
Contoh sederhana ini dapat menjelaskan dengan tepat bagaimana asal mula manusia. Oleh karena
itu asala mula manusia adalah suatu proses evolusi yang sangat panjang sejak milyaran tahun yang
lalu, sehingga membentuk kehidupan yang seperti sekarang ini. Teori Darwin mengenai evolusi
manusia mendekati suatu bentuk kebenaran, karena manusia tidak diciptakan, tetapi berevolusi dan
berkembang sesuai dengan kekuatannya masing-masing. Manusia sekarang adalah hasil evolusi dan
perkembangan dari makhluk hidup yang hidup milyaran tahun yang lalu.
P : Bagaimana setelah kita meninggal apakah kita akan masuk ke Neraka atau ke Surga ?
J : Agama buddha tidak mengenal adanya Neraka dan Surga setelah kematian seperti yang
digambarkan dalam agama-agama yang lainnya. Neraka atau Surga adalah suatu keadaan/ kondisi
jiwa seseorang. Neraka dalam bahasa jepang disebut Jigoku, yang berarti keadaan jiwa seseorang
yang tertekan oleh penderitaan dan tidak dapat berkutik sedikitpun sampai-sampai tak bisa
mengeluarkan nafsu apapun, kebebasan sudah tiada sama sekali, keberisian jiwa tidak dirasakan
sama sekali. Jadi neraka itu dapat kita rasakan semasa kita sedang hidup, begitu juga suraga.
Surga adalah suatu keadaan jiwa gembira dan berseri-seri.
Menurut Sanju Hiden Syo; Dunia Surga terdiri dari enam surga kamadhatu, delapan belas surga
Rupadhatu dan empat surga Arupadhatu. Ketiga macam dunia surga ini dimaksudkan untuk
membedakan mutu kegembiraan manusia. Orang yang berada di Dunia Surga, hidupnya penuh
keberisian, kegembiraan dan waktu terasa singkat.
Dalam gosyo musyimoci, buddha Niciren Daisyonin berkata : “ Dimanakah tempatnya Dunia Neraka
maupun Dunia Buddha ? Ada sutera yang mengatakan bahwa dunia neraka terdapat di bawah tanah,
sementara ada yang mengatakan bahwa dunia buddha terdapat disebelah barat. Tetapi kalau kita
renungkan secara cermat, tampaknya kedua-duanya terdapat dalam tubuh kita yang setinggi 5 kaki
ini.
Menurut anggapan kita selama ini, baik dunia surga maupun dunia neraka adalah sesuatu tempat
yang kita tuju setelah kita meninggal. Tetapi menurut sadharmapundarika-sutera diuraikan bahwa
segala sesuatu itu baik dunia surga atau neraka terdapat pada masa hidup ini.
P : Jika begitu bagaimana setelah kita meninggal, kemanakah kita akan pergi ? Apa yang
terjadi setelah kematian ?
J : Dalam sebuah gosyo, buddha Niciren Daisyonin pernah mengatakan ; “ Pelajarilah dahulu perihal
kematian, barulah sesudah itu pelajari hal-hal lainnya.” Setelah kematian, jiwa kita tidak musnah
melainkan menjadi sunyata. Jiwa kita dan hukum yang menimbulkan kehidupan dan kematian dalam
alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Jiwa manusia sesungguhnya merupakan suatu
keberlangsungan yang tidak ada awal dan akhir, ini mengacu pada pengertian bahwa adanya suatu
hakekat yang abadi. Pemahaman yang benar harus didasarkan pada konsep sunyata, yang mana
terdapat hukum dunia materia yaitu tidak mungkin terdapat suatu perubahan dari “Ada” menjadi “
Tidak ada” atau sebaliknya. Contohnya energi listrik bisa berubah menjadi energi kinetik, tetapi
tidak mungkin suatu energi muncul dari suatu keadaan tidak ada, dan energi tidak bisa tiba-tiba
menghilang. Inilah hukum kekekalan energi. Jiwa manusia sebenarnya mempunyai energi kejiwaan.
Pada energi kejiwaan ini pun berlaku hukum kekekalan energi. Jadi jiwa yang hidup adalah energi
kejiwaan yang aktif, sedangkan jiwa yang mati adalah energi kejiwaan yang pasif. Apabila kita
melihat kematian dari sudut pandang jiwa kekal abadi, maka adanya kematian tidak lain adalah
untuk kelahiran dan kehidupan yang akan datang, serta untuk semakin memperkaya kehidupan itu
sendiri. Buddha Niciren Daisyonin mengungkapkan tentang kematian dengan lebih tegas dengan
prinsip kesatuan hidup dan mati yang tak terpisahkan (syoji funi), ini ingin menerangkan bahwa
hidup dan mati pada hakekatnya satu adanya. Contohnya ketiak kita bangun dan tidur, pada waktu
tidur kita mengalami kematian semu dan setelah bangun kita hidup kembali tetapi diri kita sebelum
dan sesudah tidur tetap sama. Seluruh jiwa alam semesta mengalami hal yang sama. Kematian akan
mengakhiri kehidupan dan selanjutnya kematian ini akan membawa kehidupan baru, sehingga
perjalanan hidup mati dari suatu jiwa tidak akan ada akhirnya.
Jiwa kita semasa hidup menjadi nyata dengan adanya tubuh kita, tetapi setelah kita mati jiwa kita
menjadi sunyata, karena itu dikatakan setelah kematian pun tetap ada “Aku” nya jiwa manusia yang
merasakan kegembiraan, penderitaan ataupun keserakahan. Keadaan jiwa baik dalam keadaan hidup
ataupun mati, jiwa kita berakar mendalam pada jiwa alam semesta. Jadi setelah meninggal secara
sederhana jiwa kita berpadu dengan jiwa alam semesta dan sesuai dengan karma yang telah dibuat
menunggu jodoh untuk terlahir kembali.
P : Banyak orang mengalami fenomena adanya makhluk halus alias roh, hantu, setan atau jin,
bagaimana agama buddha menjelaskan ini ?
J : Agama buddha tidak mengenal konsep roh, tetapi jiwa. Manusia setelah meninggal, jiwanya
menjadi sunyata sehingga tidak dapat dilihat. Jiwa manusia itu sama seperti energi karena itu lebih
tepat disebut energi kejiwaan. Energi tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan keberadaannya.
Energi kejiwaan ketika manusia hidup menjadi sunyata. Jiwa sesudah kematian itu dapat
dibayangkan sebagai aneka macam gelombang radio yang terdapat disekeliling kita. Diantara
gelombang-gelombang itu ada yang membawa alunan musik yang indah, ada irama klasik atau jazz,
tetapi ada juga gelombang yang membawa suara manusia yang penuh dendam. Semua gelombang itu
tidaklah menghilangkan satu sama lain, dan juga mereka tidak saling bergabung. Semua gelombang
itu terdapat diruangan dimana kita berada tetapi tak dapat dilihat oleh mata kita. Gelombang itu
hanya dapat ditangkap dengan menggunakan pesawat radio atau televisi yang dapat mengubah
gelombang tersebut menjadi gambar atau suara. Jadi jika sebagian orang pernah mengalami
keadaan bertemu dengan roh, hantu atau sebagainya adalah merupakan jiwa-jiwa manusia yang ada
diseluruh alam semesta ini yang membawa karmanya masing-masing.
Download