BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1. Kesimpulan Lokasi kegiatan industri pengolahan menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo secara keseluruhan dipengaruhi oleh keberadaan jalan, dan kepadatan penduduk. Untuk wilayah perkotaan faktor yang berpengaruh adalah jalan, kepadatan penduduk, dan kemiringan lereng. Masing-masing faktor mempunyai nilai beta negatif. Semakin dekat dengan jalan arteri primer semakin banyak industrinya. Semakin padat penduduk dalam satu desa, maka semakin sedikit jumlah industrinya. Semakin besar angka kemiringan lereng wilayah desa, semakin sedikit industrinya. Sementara untuk di wilayah perdesaan, faktor yang berpengaruh adalah jalan, dan kepadatan penduduk dengan nilai beta negatif untuk jalan dan nilai beta positif untuk kepadatan penduduk. Artinya bahwa terdapat perbedaan pengaruh kepadatan penduduk antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada wilayah perkotaan industri cenderung memilih lokasi dengan kepadatan yang rendah, karena pada wilayah padat jarang diperoleh lahan kosong yang cukup luas. Sementara wilayah perdesaan industri cenderung memilih lokasi dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dengan harapan banyak tersedia tenagakerja. Kondisi ini mencerminkan bahwa kegiatan industri menengah dan besar memilih lokasi dengan kepadatan penduduk tidak terlalu padat, namun juga tidak pada lokasi yang sangat jarang penduduknya. Pada wilayahwilayah dengan kondisi tersebut dimungkinkan masih tersedia lahan yang cukup luas untuk kegiatan industri besar dan juga masih banyak tersedia tenaga kerja. Sementara untuk jalan mempunyai pengaruh yang sama antara perkotaan dan perdesaan. Semakin dekat dengan jalan arteri, lokasi tersebut semakin disenangi pelaku usaha industri menengah dan besar karena akan memperlancar aktivitas produksi. Proses keruangan yang terjadi di Koridor Semarang-Solo sisi utara lebih banyak pada kuantitas gejala bertambah dan lokasi gejala meluas. Proses meluas disebabkan adanya pembangunan industri baru yang berlokasi agak jauh dengan industri sejenis yang sudah ada. Sementara untuk Koridor Semarang-Solo bagian selatan mempunyai kuantitas gejala berkurang, namun lokasi gejala meluas. Secara 212 keseluruhan proses keruangan di Koridor Semarang-Solo mempunyai proses keruangan meluas. Pola keruangan yang terbentuk dari lokasi kegiatan industri di seluruh wilayah Koridor Semarang-Solo adalah pola keruangan mengelompok. Namun apabila dicermati, terdapat perbedaan pola antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Penelitian ini menemukan pembangunan lokasi industri tersebut membentuk pola sebaran garis teratur di wilayah perdesaan, dan pola sebaran titik mengelompok di perkotaan yang membentuk area. Pola-pola yang ada didominasi oleh gejala buatan manusia. Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari tujuan pertama bahwa faktor jalan mendominasi pengaruh di seluruh wilayah koridor. Jalan merupakan bentukan manusia, sehingga gejala buatan manusia menjadi faktor utama. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa industri menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo berusaha untuk keluar atau berpindah dari wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk tinggi namun juga tidak pada kepadatan penduduk sangat rendah. Industri menengah dan besar berusaha berlokasi pada daerah yang tidak terlalu padat dan mengelompok atau berusaha berlokasi di sekitar jalur transportasi. 9.2. Kontribusi Teori Dalam teorinya, Weber (1929) sangat meyakini bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam penentuan lokasi industri. Hasil penelitian di Koridor Semarang-Solo menghasilkan temuan selain faktor transportasi atau jarak terhadap jalan arteri, kepadatan penduduk wilayah juga menjadi faktor penting untuk menentukan lokasi industri. Menurut perhitungan isodapan lokasi industri harus berada pada nilai transport paling kecil, namun jika lokasi tersebut berada di dekat permukiman padat maka lokasi tersebut tidak baik. Industri harus keluar dari lokasi tersebut dan mencari lokasi yang tidak terlalu padat permukiman penduduknya. Hasil penelitian ini memperbaharui teori Weber bahwa transportasi masih memegang peranan utama dalam penentuan lokasi industry. Menurut Weber persegeran lokasi industri dapat terjadi apabila terdapat pengelompokan tenaga kerja murah dan atau tenaga kerja terampil. Hasil temuan ini memperbaiki pendapat Weber tersebut bahwa 213 pergeseran lokasi kegiatan industri tidak hanya berdasarkan tenaga kerja, namun juga berdasarkan kepadatan penduduk. Industri akan bergeser dari lokasi yang mempunyai kepadatan penduduk tinggi. Hasil temuan penelitian ini memperlihatkan perubahan arah lokasi kegiatan industri sudah dimulai. Industri sudah tidak lagi berusaha masuk ke kota besar, namun justru bergeser ke daerah pinggiran ataupun perdesaan. Hasil penelitian dapat menyatakan bahwa industri berusaha mencari lokasi yang penduduknya tidak terlalu padat sehingga masih tersedia luas lahan untuk pembangunan, namun kemudahan transportasi tetap menjadi pertimbangan. Industri menengah dan besar akan menempatkan lokasi kegiatannya pada sepanjang jalan besar yang menuju luar kota ke arah kota-kota yang lebih kecil atau lebih rendah levelnya dengan harapan permukiman penduduknya tidak terlalu padat masih terdapat lahan kosong yang relatif luas. Arah pertumbuhan tersebut sesuai dengan teori kutub pertumbuhan bahwa kota menjadi daya tarik. Pergerakan pembangunan lokasi industri adalah sepanjang jalan yang memudahkan transportasi dengan pertumbuhan penduduk tidak terlalu tinggi. Pergerakan pembangunan tersebut membentuk pola mengelompok memanjang sepanjang jalur transportasi, dan berhenti pada tempat-tempat yang sudah masuk desa namun masih mempunyai fasilitas yang memadai untuk melakukan kegiatan industri, dan masih tersedia cukup tenaga kerja. Akhirnya di perdesaan terjadi pola keruangan garis teratur. Sementara untuk di wilayah perkotaan pembangunan lokasi industri juga mengelompok, namun pola yang terbentuk adalah pola area mengelompok karena wilayah perkotaan mempunyai prasarana transportasi yang lebih baik dan dapat terjangkau kendaraan ke segala arah. Hasil kajian spasial temporal lokasi industri di Koridor Semarang-Solo ini menemukan perbedaan pola keruangan lokasi industri yang terbentuk di perkotaan dan perdesaan. Selain itu kajian ini juga memperbaharui teori Weber bahwa lokasi industri tidak hanya dipengaruhi oleh biaya transportasi akan tetapi dipengaruhi pula oleh kepadatan penduduk. Adanya variabel kepadatan penduduk maka terjadi pergeseran arah lokasi pembangunan, orientasi lokasi industri mengarah ke wilayah pinggiran atau perdesaan. 214 Gambar 9.1. Arah Perpindaan lokasi industri dan Pola Keruangan yang Terbentuk 9.3. Rekomendasi Perkembangan pembangunan industri di perkotaan cenderung mencari lokasi dengan kepadatan penduduk rendah. Artinya bahwa pembangunan industri menuju ke luar kota atau daerah pinggiran kota. Pada umumnya wilayah ini masih bersih dan jauh dari polusi dan berbagai pencemaran lingkungan. Industri menengah dan besar sudah dapat dipastikan mempunyai limbah baik padat maupun cair, dan juga polusi udara. Kondisi tersebut harus diantisipasi karena jika tidak ditangani sejak dini dapat merusak kelestarian lingkungan perdesaan dan juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat perdesaan. Untuk itu perlu dibuatkan kebijakan pengelolaan limbah dan kelestarian lingkungan fisik dan sosial sekitar lokasi industri, dan pada wilayahwilayah yang kemungkinan besar menjadi lokasi perluasan kegiatan industri. Pembuatan peraturan pengelolaan limbah perlu segera dilakukan agar investor mengetahui sebelum memilih lokasi tersebut, sehingga bisa memikirkan perencanaan pengelolaan limbah lebih baik sebelum pelaksanaan produksi. Provinsi Jawa Tengah dengan ibukotanya di Kota Semarang di dalam MP3EI ditetapkan sebagai pendorong kegiatan industri terutama industri makanan dan tekstil. 215 Melihat dari potensi yang ada, industri tersebut sudah mulai berkembang di Koridor Semarang-Solo. Akan tetapi pembangunan kegiatan industri makanan dan tekstil belum merata. Kegiatan industri pada satu lokasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai terutama jalan arteri bagi industri menengah dan besar. Untuk itu pembangunan jalan dan penyediaan alat transportasi harus lebih dikembangkan dan diperbaiki. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi ini tidak hanya sepanjang jalan arteri Semarang-Solo namun sampai pada jalan lokal sehingga pembangunan kegiatan industri dapat lebih merata. Hasil penelitian memperlihatkan kecenderungan pelaku industri lebih menyukai berlokasi di kawasan industri. Untuk itu akan lebih baik jika pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan pembangunan kawasan industri. Selain disenangi oleh pelaku usaha juga mempermudah dalam pengawasan terutama dalam pengelolaan lingkungan, sehingga pencemaran lingkungan dapat dikurangi dan juga dilokalisir. Penelitian ini menghasilkan bebaharuan dari teori weber. Penelitian ini juga dapat memperkirakan arah perkembangan pembangunan lokasi industri menengah dan besar secara umum. Namun penelitian ini juga mempunyai kekurangan atau belum sempurna karena penelitian ini belum melihat perubahan per jenis industri yang dapat memperkirakan industri apasaja yang akan mneggeser ke pinggiran dan industri apa yang akan tetap berlokasi di perkotaan. Untuk itu bagi peneliti yang akan datang disarankan untuk melakukan penelitian menurut jenis industri. Industri apa saja yang tetap bertahan di dalam kota dan industri apa yang mengalihkan kegiatannya ke pinggiran kota. Penelitian menurut jenis industri akan memperjelas arah pembangunan dan penanganannya, sehingga perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang dapat lebih baik. 216