10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kenakalan Remaja 2.1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kenakalan Remaja
2.1.1. Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari
bahasa latin “juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas
pada periode remaja. Sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin
“delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau
kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada remaja. Istilah
kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku
yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak
kriminal (Kartono, 2006).
Sarwono (2001), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku
yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak
remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang
dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.
10
Dari pendapat Goleman dan Jeanne (dalam kartono 2003) bahwa
perilaku delinkuen pada dasarnya disebabkan oleh ketidak mampuan
remaja dalam menjalin relasi yang positif terhadap stimuli diluar dirinya
yang pada akhirnya akan mengarah pada perilaku agresif dan delinkuen.
Pendapat Goleman dan Jeanne Segal senada dengan gagasan teori
Psikogenis yang menyatakan perilaku delinkuen adalah merupakan bentuk
penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin
dalam menanggapi stimuli eksternal atau sosial dan pola-pola hidup
keluarga yang patologis. Selanjutnya Brooks & Emmert merinci bahwa
dalam suatu hubungan yang positif sekurang-kurangnya dijumpai unsurunsur afeksi, penerimaan, cinta dan rasa bahagia karena ada bersama orang
lain (Saad, 2003). Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial
akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.
Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung
berperilaku normatif, misalnya: asosial ataupun anti-sosial. Bahkan yang
lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan
remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb (Apriyanti, 2006).
Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan
yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang
dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa.
Kenakalan remaja adalah suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai
dengan norma yang berlaku dimasyarakat. Menurut Kartini Kartono
(dalam Dirgantara Wicaksono, 2010) mengatakan remaja yang nakal itu
11
disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental
disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga
perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan
disebut “kenakalan”. Kenakalan remaja ini biasanya disalurkan dalam
berbagai bentuk, mulai dari kenakalan yang bisa dimaklumi sampai
kenakalan yang dapat meresahkan masyarakat.
Kenakalan remaja diakibatkan oleh pengabaian sosial remaja yang
dipengaruhi oleh perkembangan fisik dan psikologis pada fase ini.
Pengabaian sosial ini terjadi karena remaja kurang memiliki kontrol diri
dan cenderung meluapkan emosi-emosinya terhadap stimulus-stimulus
diluar dirinya. Ketegangan emosi tinggi, dorongan emosi sangat kuat dan
tidak terkendali membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan
bertindak tidak rasional (Sari, 2005).
2.1.2. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja
Jensen (Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
jenis, yaitu:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:
perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lainlain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.
12
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status
anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status
orangtua mereka dengan cara minggat dari rumah dan
membantah perintah orangtua.
2.1.3. Aspek-aspek Juvenile delinquency (Kenakalan Remaja)
Menurut Kartono (2006), aspek-aspek perilaku dibagi menjadi
empat, yaitu:
a. Kenakalan terisolir
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada
umumnya mereka
tidak menderita
kerusakan psikologis.
Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut:
1) Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan gangnya, jadi
tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak
dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional
sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja
melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut
bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan
hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak
harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan
keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di
13
tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan
alternatif hidup yang menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali
mendapatkan supervise dan latihan kedisiplinan yang teratur,
sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma
hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi
terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan
dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa,
mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya,
paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya pada
usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan
dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab
sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang
baru.
b. Kenakalan neurotic
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan
kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan,
merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa. Ciri-ciri
perilakunya adalah:
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang
sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima
norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
14
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik
batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka
merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan, dan kebingungan
batinnya.
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan
mempraktekan
jenis
kejahatan
tertentu,
misalnya
suka
memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal, dan
sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan
menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami
banyak ketegangan emosional yang parah, dan orang tuanya
biasanya juga neurotik atau psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah dan cenderung mengisolir
diri dari lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikopatik
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat
dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan
oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah lakunya,
yaitu:
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal,
15
diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun
tidak konsisten dan orang tuanya selalu menyia-nyiakan mereka,
sehingga
mereka
tidak
mempunyai
kapasitas
untuk
menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan
emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau
melakukan pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana
hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada
umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis
yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali
diperbaiki.
4)
Mereka
selalu
gagal
dalam
menyadari
dan
menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku,
juga tidak perduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri.
5)
Kebanyakan
neurologist,
mengendalikan
dari
mereka
sehingga
diri
juga
mengurangi
sendiri.
Psikopat
menderita
gangguan
kemampuan
untuk
merupakan
bentuk
kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:tidak
memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak
pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai
konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis,
16
anti sosial dan selalu menentang apa dan siapa. Sikapnya kasar,
kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral
Defek (defec, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah,
cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciriciri, yaitu selalu melakukan tindakan sosial, walaupun pada
dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada
intelegensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah
mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya
yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya,
mereka
selalu
ingin
melakukan
perbuatan
kekerasan,
penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaan sangat terganggu,
sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif
dan sterilitas emosional.
Menurut Kartono (2006), Juvenile delinquency (kenakalan
remaja) mempunyai karakteristik umum, yaitu:
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan
intelegensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsifungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya kenakalan remaja
mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi
daripada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler).
17
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal lebih ‘idiot secara moral’ dan memiliki
perbedaan ciri karakteristik yang jasmani sejak lahir jika
dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih
kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif.
Hasil penelitian juga menunjukan ditemukannya fungsi fisiologis
dan neurologis yang khas pada remaja nakal: mereka kurang
bereaksi
terhadap
stimulus
kesakitan
dan
menunjukan
ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
2.1.4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Kenakalan
Remaja
Perilaku nakal remaja bisa di sebabkan oleh faktor dari remaja itu
sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal).
Faktor internal :
1) Krisis identitas
Perubahan
biologis
dan
sosiologis
pada
diri
remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk intregasi. Pertama,
terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya.
Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi
karena remaja gagal mencapai masa intregasi ke dua.
18
2) Kontrol diri yang lemah
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah
laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan
terseret pada perilaku “nakal”.
Faktor eksternal:
1) Keluarga
Percerain orang tua, tidak adanya komunikasi antar anggota
keluarga, atau perselisian antar anggota keluarga bisa memicu
perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga
juga bisa mempengaruhi seperti terlalu memanjakan anak, tidak
memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap
eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan
remaja.
2) Teman sebaya yang kurang baik.
3) Komunitas / lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Perilaku delinkuen merupakan perilaku yang mayoritas
dilakukan oleh anak dan remaja di bawah usia 21 tahun. Banyak
peneliti yang berusaha mengungkapkan faktor-faktor penyebab
munculnya perilaku delinkuen pada masa remaja. Philip Graham
(dalam Sarwono, 2006), membagi faktor-faktor penyebab perilaku
19
delinkuen lebih mendasarkan pada sudut kesehatan mental remaja,
yaitu:
1. Faktor lingkungan, meliputi malnutrisi (kekurangan gizi),
kemiskinan, gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu
lintas, bencana alam, dan lain-lain), migrasi (urbanisasi,
pengungsian, dan lain-lain). (1) Faktor sekolah (kesalahan
mendidik, faktor kurikulum, dan lain-lain). (2) Keluarga yang
tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan
lain-lain). (3) Gangguan dalam pengasuhan, meliputi kematian
orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar anggota
keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang tidak
harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar anggota
yang tidak harmonis dapat menghambat perkembangan
individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya.
2. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi
temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain),
cacat tubuh, serta ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Santrock (2003), berdasarkan teori perkembangan identitas
Erikson mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku delinkuen pada remaja:
1. Identitas negatif, Erikson yakin bahwa perilaku delinkuen
muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas
peran.
20
2. Kontrol diri rendah, beberapa anak dan remaja gagal
memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki
orang lain selama proses pertumbuhan.
3. Usia, munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anakanak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih
serius nantinya di masa remaja. Namun demikian, tidak
semua anak bertingkah laku seperti ini nantinya akan
menjadi pelaku delinkuen.
4. Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak
melakukan
tingkah
laku
antisosial
daripada
anak
perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al., 2000),
menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih
besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak namun
demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari
dari
rumah
lebih
banyak
dilakukan
oleh
remaja
perempuan.
5. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan.
Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti
karena memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan
dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.
6. Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku
nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua
menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan
21
mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anakanaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis
antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan
saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang
buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung
menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika
berada di luar rumah.
7. Pengaruh teman sebaya. Memiliki teman-teman sebaya
yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk
menjadi pelaku kenakalan.
8. Status ekonomi sosial. Penyerangan serius lebih sering
dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari kelas sosial
ekonomi yang lebih rendah.
9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Tempat
dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku
individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang
membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik”
atau ”jahat”.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat
bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi
terbentuknya perilaku delinkuen, yaitu faktor keluarga,
hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis,
seperti hubungan antar saudara kandung yang buruk, akan
22
memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari
pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara
kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar
dalam berperilaku di luar rumah.
2.1.5. Dampak/Akibat dari Kenalakan Remaja
1. Dampak kenakalan remaja pasti akan berimbas pada remaja
tersebut. Bila tidak segera ditangani, ia akan tumbuh menjadi
sosok yang bekepribadian buruk.
2. Remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan tertentu pastinya
akan dihindari atau malah dikucilkan oleh banyak orang.
Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan
orang yang tidak berguna.
3. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja
tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud
gangguan kejiwaan bukan berarti gila, tapi ia akan merasa
terkucilkan dalam hal sosialisai, merasa sangat sedih, atau
malah akan membenci orang-orang sekitarnya.
4. Dampak kenakalan remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga
yang harus menanggung malu. Hal ini tentu sangat merugikan,
dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan
remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya.
23
5. Masa depan yang suram dan tidak menentu bisa menunggu
para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan bila ada
seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas,
hampir bisa dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan
cerah. Hidupnya akan hancur perlahan dan tidak sempat
memperbaikinya.
6. Kriminalitas bisa menjadi salah satu dampak kenakalan.
Remaja yang terjebak hal-hal negatif bukan tidak mungkin
akan memiliki keberanian untuk melakukan tindak kriminal.
Mencuri demi uang atau merampok untuk mendapatkan barang
berharga.
2.2.
Remaja
2.2.1. Pengertian Remaja
Remaja atau adolescence, berasal dari kata Latin adoloscere (kata
bendanya, adolescentia, yang berarti remaja), yang berarti 'tumbuh' atau
'tumbuh menjadi dewasa'. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003:
26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan
transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum
digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Menurut Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan
transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Papalia dkk. (2004)
24
menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode yang panjang sebagai
proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Umumnya,
remaja dikaitkan dengan mulainya pubertas, yaitu proses yang mengarah
pada kematangan seksual, atau fertilitas yang merupakan kemampuan
untuk reproduksi. Kemudian ditambahkan lagi bahwa remaja dimulai dari
usia 11 atau 12 tahun sampai 19 atau 20 tahun. Remaja dianggap mulai
pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia
mencapai usia yang dianggap matang secara hukum, yaitu rentang usia 13
hingga 18 tahun. Remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi
terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak
merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Sedangkan remaja adalah
“rekontruksi keasadaran” masa remaja adalah masa penyempurnaan dari
perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. (Piaget, dalam Ali & Asrori
2008).
Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa
anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami
berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak
jelas adalah perubahan fisik, di mana tubuh berkembang pesat sehingga
mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan
berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah
secara kognitif dan mulai mampu melepaskan diri secara emosional dan
orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai
25
orang dewasa (Agustian, 2006). Masa remaja adalah usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Pada periode ini terjadi
perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsifungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 2007).
Selain itu, remaja mengalami perubahan dalam tiga domain yang akan
dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Santrock (2003):
1. Proses biologis, mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat
fisik individu. Misalnya: gen yang diwariskan dari orang tua,
perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan,
keterampilan motorik, dan perubahan hormonal pada pubertas.
2. Proses kognitif, meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi dan
bahasa individu.
3. Proses sosial-emosional, meliputi perubahan dalam hubungan
individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian,
dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan.
2.2.2. Pembagian Remaja
Masa remaja dikelompokkan lagi menjadi:
1. Remaja awal (early adolescence)
Sub-tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun.
Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah
26
menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak
perubahan untuk pubertas.
2. Remaja akhir (late adolescence)
Sub tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 15-19 tahun.
Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah
atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Dalam subtahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir, pacaran, dan
eksplorasi identitas (Santrock, 2003).
2.3.
Kerangka Pemikian (Theoretical Framework)
Berdasarkan yang telah dibahas diatas bahwa kenakalan remaja terjadi
dikarenakan adanya faktor internal dan eksternal. Remaja masih sangat
rentan
dalam
mengolah
emosinya.
Pada
usia
tersebut
remaja
membutuhkan pola asuh yang baik, baik berupa perhatian, pengawasan,
ajaran serta dukungan dari keluarga yang merupakan faktor utama dalam
pembentukkan perilaku kenalakan remaja. Remaja merupakan masa baru
beranjak dewasa, dimana ia tidak mau dikatakan sebagai anak kecil lagi,
namun belum bisa dikatakan sudah dewasa. Diusia tersebut remaja mulai
berkembang dan mengalami perubahan secara fisik, kognitif maupun
emosi. Remaja adalah masa mereka ingin mencoba hal-hal baru, masa
mereka ingin tahu lebih dalam mengenai dunia luar, disini mereka mudah
terbawa arus lingkungannya dan mudah untuk dipengaruhi maupun
27
mempengaruhi. Keberadaan tempat tinggal remaja juga menjadi salah satu
faktor pengaruh terbentuknya perilaku kenakalan remaja. Selain itu
lingkungan pendidikan, lingkungan sosial atau pergaulannya (teman
sebaya) juga merupakan hal yang perlu diperhatikan pada diri remaja,
karena disitulah kepribadian atau jati diri mereka akan terbentuk.
Remaja
Faktor Internal:
Faktor Eksternal:
- Faktor psikologis
- Krisis identitas
- Kontrol diri
- Keluarga
- Teman sebaya
- Komunitas/lingkungan
tempat tinggal
Kenakalan Remaja
-
Kenakalan Terisolir
Kenakalan Neurotic
Kenakalan Psikopatik
Kenakalan Defek Moral
28
Download