POLITIK ETIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP TRANSFORMASI SOSIAL DI HINDIA BELANDA Rafly Putra Simpati1, Fitri Neng Asih2 Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Lampung, Bandar Lampung Email : raflyp355@gmail.com Abstrak Politik Etis merupakan kebijakan kolonial Belanda yang diterapkan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap kritik terhadap sistem tanam paksa dan eksploitasi yang berkepanjangan. Penelitian ini menganalisis dampak Politik Etis terhadap transformasi sosial masyarakat Hindia Belanda melalui program Trias Politika yang meliputi edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Metode penelitian menggunakan pendekatan historis-kualitatif dengan analisis dokumen dan literatur sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Politik Etis membawa perubahan signifikan dalam bidang pendidikan dan infrastruktur, kebijakan ini juga memiliki dampak ambivalen. Di satu sisi, Politik Etis menciptakan kelas terdidik pribumi yang kemudian menjadi motor pergerakan nasional, namun di sisi lain tetap mempertahankan struktur kolonial dan kesenjangan sosial. Transformasi sosial yang terjadi mencakup munculnya kesadaran nasional, perubahan stratifikasi sosial, dan modernisasi terbatas yang pada akhirnya mempercepat gerakan kemerdekaan Indonesia. Kata Kunci: Politik Etis, Hindia Belanda, transformasi sosial, Trias Politika, kolonialisme Abstract The Ethical Policy was a Dutch colonial policy implemented in the Dutch East Indies in the early 20th century in response to criticism of the forced cultivation system and prolonged exploitation. This study analyzes the impact of the Ethical Policy on the social transformation of Dutch East Indies society through the Trias Politica program, which encompassed education, irrigation, and transmigration. The research method uses a historical-qualitative approach with analysis of documents and secondary literature. The results show that although the Ethical Policy brought significant changes in education and infrastructure, this policy also had ambivalent impacts. On the one hand, the Ethical Policy created an educated indigenous class that later became the driving force of the national movement, but on the other hand, it maintained colonial structures and social inequality. The social transformation that occurred included the emergence of national consciousness, changes in social stratification, and limited modernization, which ultimately accelerated the Indonesian independence movement. Keywords: Ethical Policy, Dutch East Indies, social transformation, Trias Politica, colonialism. PENDAHULUAN Pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menghadapi tekanan moral dan politik yang semakin besar terkait dengan kebijakan eksploitatif di Hindia Belanda. Sistem Cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan sejak 1830 telah menghasilkan keuntungan ekonomi besar bagi Belanda, namun menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Hindia Belanda. Kritik keras dari kalangan liberal dan humanis Belanda, 1 terutama setelah publikasi novel "Max Havelaar" karya Multatuli pada tahun 1860, memicu perdebatan publik mengenai tanggung jawab etis Belanda terhadap koloninya (Ricklefs, 2008). Sebagai respons terhadap kritik tersebut, muncullah konsep Politik Etis yang secara resmi diadopsi dalam pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901. Kebijakan ini menegaskan kewajiban moral Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi Hindia Belanda melalui program-program pembangunan. Politik Etis didasarkan pada prinsip "balas budi" (eereschuld) kepada rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan kontribusi ekonomi besar kepada Belanda (Kartodirdjo, 1993). Implementasi Politik Etis diwujudkan melalui program Trias Politika yang dicetuskan oleh Menteri Urusan Jajahan Belanda, Alexander W.F. Idenburg. Program ini mencakup tiga pilar utama: irigasi (irrigatie) untuk meningkatkan produksi pertanian, edukasi (educatie) untuk mencerdaskan penduduk pribumi, dan emigrasi atau transmigrasi (emigratie) untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa (Nagazumi, 1989). Ketiga program ini diharapkan dapat membawa perubahan fundamental dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat Hindia Belanda. Namun, implementasi Politik Etis tidak terlepas dari kontroversi dan ambiguitas. Meskipun secara retoris menekankan kesejahteraan pribumi, kebijakan ini tetap berada dalam kerangka kepentingan kolonial Belanda. Banyak sarjana sejarah berpendapat bahwa Politik Etis lebih merupakan strategi untuk melegitimasi dan memperkuat kekuasaan kolonial daripada upaya pembebasan sejati (Shiraishi, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak Politik Etis terhadap transformasi sosial di Hindia Belanda dengan fokus pada perubahan struktur pendidikan, ekonomi, dan kesadaran politik masyarakat pribumi. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana Politik Etis mempengaruhi transformasi sosial di Hindia Belanda? Apa dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap pergerakan nasional Indonesia? Penelitian ini penting untuk memahami kompleksitas hubungan kolonial dan bagaimana kebijakan yang tampaknya progresif dapat memiliki konsekuensi yang tidak terduga dalam pembentukan identitas nasional Indonesia METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode historis-kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis untuk mengkaji dampak Politik Etis terhadap transformasi sosial di Hindia Belanda. Metode historis dipilih karena objek kajian merupakan peristiwa masa lampau yang memerlukan 2 rekonstruksi dan interpretasi berdasarkan sumber-sumber sejarah yang tersedia (Kartodirdjo, 1993). Sumber data penelitian ini terdiri dari data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap berbagai literatur, meliputi buku-buku sejarah, jurnal ilmiah, dokumen kebijakan kolonial, dan karya-karya akademis yang relevan dengan Politik Etis dan transformasi sosial di Hindia Belanda. Pemilihan sumber dilakukan secara purposif dengan kriteria relevansi, kredibilitas, dan keterwakilan perspektif yang beragam. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan membaca, mencatat, dan mengklasifikasikan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan Politik Etis dan dampaknya terhadap masyarakat Hindia Belanda. Data yang terkumpul kemudian diorganisasikan berdasarkan tema-tema utama: kebijakan pendidikan, program irigasi dan pembangunan ekonomi, program transmigrasi, serta dampak sosial dan politik dari implementasi kebijakan tersebut. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap sesuai dengan metode sejarah, yaitu: heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (verifikasi dan validasi), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah). Pada tahap interpretasi, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis untuk mengungkap tidak hanya dampak manifes tetapi juga konsekuensi laten dari Politik Etis terhadap transformasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Triangulasi dilakukan dengan membandingkan berbagai perspektif dari sumber yang berbeda, termasuk pandangan sejarawan Indonesia dan Belanda, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan berimbang. Keterbatasan penelitian ini adalah ketergantungan pada sumber sekunder dan tidak tersedianya data primer seperti arsip kolonial atau wawancara dengan saksi sejarah yang masih hidup. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Program Edukasi dan Transformasi Intelektual Program edukasi merupakan pilar terpenting dalam Politik Etis yang memberikan dampak paling signifikan terhadap transformasi sosial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mendirikan berbagai lembaga pendidikan Barat, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Pada tahun 1900, terdapat sekitar 1.540 sekolah pribumi dengan 100.000 murid, dan angka ini meningkat pesat pada dekade-dekade berikutnya (Ricklefs, 2008). Pendirian sekolah-sekolah seperti Sekolah Dasar (Volksschool), Sekolah Menengah Pertama (MULO), Sekolah Menengah Atas (AMS), dan Sekolah Tinggi seperti STOVIA (School tot 3 Opleiding van Inlandsche Artsen) untuk pendidikan dokter pribumi, membuka akses pendidikan modern bagi kalangan pribumi yang sebelumnya sangat terbatas. Namun, sistem pendidikan ini bersifat diskriminatif dengan pembedaan sekolah berdasarkan kelas sosial dan etnis: sekolah kelas satu untuk anak-anak Eropa, kelas dua untuk anak-anak pribumi golongan atas, dan sekolah desa untuk rakyat jelata (Nagazumi, 1989). Meskipun diskriminatif, ekspansi pendidikan ini menciptakan kelas intelektual pribumi baru yang memiliki akses terhadap pengetahuan, teknologi, dan ide-ide modern Barat, termasuk konsep demokrasi, nasionalisme, dan hak asasi manusia. Generasi terdidik ini kemudian menjadi motor pergerakan nasional Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Soetomo, dan lainnya adalah produk dari sistem pendidikan Politik Etis yang justru menggunakan pendidikan Barat untuk menantang kolonialisme itu sendiri (Shiraishi, 1990). Paradoks ini menunjukkan dampak tidak terduga dari Politik Etis: alih-alih menciptakan elite pribumi yang patuh dan setia kepada Belanda, sistem pendidikan justru melahirkan kesadaran kritis dan nasionalisme yang pada akhirnya mempercepat runtuhnya kekuasaan kolonial. Organisasi-organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1911), dan Indische Partij (1912) didirikan oleh kaum terpelajar yang merupakan produk dari kebijakan pendidikan Politik Etis (Kartodirdjo, 1993). B. Program Irigasi dan Pembangunan Ekonomi Pilar kedua dari Trias Politika adalah program irigasi yang bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Pemerintah kolonial membangun sistem irigasi modern, bendungan, dan infrastruktur pertanian lainnya, terutama di Jawa yang merupakan pusat ekonomi Hindia Belanda. Proyek-proyek besar seperti pembangunan bendungan dan saluran irigasi di berbagai daerah memang meningkatkan hasil pertanian dan membuka lahan-lahan baru untuk budidaya tanaman komersial (Ricklefs, 2008). Namun, program irigasi ini tidak murni untuk kepentingan petani pribumi. Infrastruktur yang dibangun lebih ditujukan untuk mendukung perkebunan-perkebunan swasta Belanda dan meningkatkan ekspor komoditas seperti gula, kopi, teh, dan karet. Sistem ekonomi kolonial tetap menguntungkan pihak Belanda dan perusahaan-perusahaan swasta, sementara petani pribumi tetap dalam posisi marginal sebagai buruh atau penyewa lahan dengan upah rendah (Nagazumi, 1989). Modernisasi pertanian juga mengubah struktur ekonomi tradisional. Ekonomi subsisten berbasis komunal mulai tergeser oleh ekonomi uang dan orientasi pasar. Hal ini menciptakan diferensiasi ekonomi yang lebih tajam di kalangan petani, dengan munculnya kelompok petani 4 kaya yang mampu beradaptasi dengan sistem ekonomi baru dan petani miskin yang kehilangan tanah dan menjadi buruh tani. Ketimpangan ekonomi ini menciptakan ketegangan sosial baru di pedesaan (Kartodirdjo, 1993). Di bidang infrastruktur, Politik Etis juga mendorong pembangunan jalan, jembatan, dan jalur kereta api yang meningkatkan konektivitas antar wilayah. Infrastruktur ini memfasilitasi integrasi ekonomi dan mobilitas penduduk, namun sekali lagi prioritasnya adalah untuk kepentingan ekonomi kolonial: mengangkut hasil perkebunan ke pelabuhan dan mendistribusikan barang-barang impor ke pasar-pasar lokal (Shiraishi, 1990). C. Program Transmigrasi dan Rekayasa Demografis Pilar ketiga, program transmigrasi atau emigrasi, bertujuan mengatasi kepadatan penduduk di Jawa dengan memindahkan penduduk ke wilayah-wilayah luar Jawa yang masih jarang penduduk seperti Sumatera dan Kalimantan. Program ini dimulai pada tahun 1905 dengan pemindahan keluarga-keluarga petani dari daerah-daerah padat di Jawa ke daerah perkebunan di Sumatera Utara (Ricklefs, 2008). Namun, program transmigrasi dalam Politik Etis tidak berjalan sesuai harapan. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan relatif kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di Jawa. Hingga tahun 1941, hanya sekitar 178.000 orang yang berhasil ditransmigrasikan, jumlah yang tidak signifikan untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk (Nagazumi, 1989). Selain itu, program transmigrasi lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan perkebunan yang memerlukan tenaga kerja murah daripada transmigran itu sendiri. Banyak transmigran yang dipindahkan ke daerah perkebunan bekerja sebagai buruh kontrak dengan kondisi kerja yang keras dan upah rendah, tidak berbeda jauh dengan sistem kerja paksa sebelumnya. Program ini juga menciptakan ketegangan dengan penduduk lokal di daerah tujuan transmigrasi yang merasa terancam oleh kehadiran pendatang baru (Kartodirdjo, 1993). Meskipun demikian, program transmigrasi dalam jangka panjang berkontribusi pada integrasi nasional dengan menciptakan komunitas-komunitas Jawa di berbagai wilayah Nusantara. Hal ini memperkuat ikatan antar-pulau dan memfasilitasi penyebaran ide-ide nasionalisme ke seluruh wilayah Hindia Belanda (Shiraishi, 1990). D. Transformasi Struktur Sosial dan Stratifikasi Politik Etis membawa perubahan fundamental dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda. Sebelum Politik Etis, stratifikasi sosial relatif sederhana dengan aristokrasi tradisional 5 di puncak, disusul oleh petani dan pedagang. Politik Etis menciptakan kelas sosial baru: kaum terpelajar atau inteligensia pribumi yang posisinya berada di antara aristokrasi tradisional dan rakyat biasa (Ricklefs, 2008). Kaum terpelajar ini memiliki modal budaya baru berupa pendidikan Barat dan pemahaman tentang ide-ide modern, namun tetap menghadapi diskriminasi rasial dalam sistem kolonial. Mereka tidak dapat mengakses posisi-posisi tertinggi dalam birokrasi kolonial yang dicadangkan untuk orang Eropa, namun memiliki status lebih tinggi daripada massa yang tidak terdidik. Posisi ambivalen ini menciptakan ketegangan identitas dan mendorong mereka untuk mempertanyakan legitimasi kekuasaan kolonial (Nagazumi, 1989). Di sisi lain, Politik Etis juga memperkuat peran priyayi (birokrat pribumi) dalam administrasi kolonial. Priyayi yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial mendapat akses ke pendidikan, jabatan, dan privilese ekonomi. Namun, kolaborasi ini menciptakan jarak sosial dan politik antara priyayi dengan rakyat jelata, serta menimbulkan kritik dari kalangan nasionalis yang menganggap mereka sebagai alat kekuasaan kolonial (Kartodirdjo, 1993). Perubahan ekonomi yang dibawa oleh modernisasi juga menciptakan kelas pedagang dan pengusaha pribumi yang lebih kuat, terutama di kota-kota besar. Kelas menengah urban yang baru ini menjadi basis sosial penting bagi gerakan nasional dan modernisasi budaya. Mereka menjadi konsumen media cetak, anggota organisasi-organisasi sosial, dan pendukung ide-ide pembaruan (Shiraishi, 1990). E. Kebangkitan Kesadaran Nasional Dampak paling signifikan dari Politik Etis adalah munculnya kesadaran nasional yang pada akhirnya mengancam kelangsungan kekuasaan kolonial itu sendiri. Pendidikan Barat yang diberikan kepada elite pribumi tidak hanya mentransfer pengetahuan teknis, tetapi juga ide-ide tentang kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan hak menentukan nasib sendiri yang berkembang di Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Ricklefs, 2008). Generasi terpelajar ini mulai mempertanyakan legitimasi kekuasaan kolonial dan kesenjangan antara retorika humanis Politik Etis dengan realitas diskriminasi dan eksploitasi yang masih berlangsung. Mereka menggunakan konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia untuk menantang sistem kolonial. Paradoksnya, alat-alat intelektual yang diberikan oleh kolonialisme menjadi senjata untuk melawan kolonialisme itu sendiri (Nagazumi, 1989). Organisasi-organisasi pergerakan nasional yang muncul pada awal abad ke-20 merupakan manifestasi langsung dari transformasi sosial yang dibawa oleh Politik Etis. Budi Utomo 6 (1908) yang didirikan oleh mahasiswa STOVIA mewakili kesadaran baru di kalangan elite terpelajar Jawa. Sarekat Islam yang berkembang pesat sejak 1911 menunjukkan bagaimana ide-ide modern dapat dimobilisasi untuk mengorganisir massa. Indische Partij (1912) yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat adalah contoh paling radikal dari nasionalisme yang menuntut kemerdekaan (Kartodirdjo, 1993). Politik Etis juga memfasilitasi penyebaran ide-ide nasionalisme melalui ekspansi media cetak dan peningkatan literasi. Surat kabar dan majalah berbahasa Melayu dan Jawa berkembang pesat, menjadi medium penting untuk diskusi politik dan penyebaran ide-ide pembaruan. Media ini menciptakan ruang publik baru di mana ide-ide tentang identitas nasional, modernitas, dan kemerdekaan dapat didiskusikan dan disebarluaskan (Shiraishi, 1990). Gerakan-gerakan perempuan juga muncul sebagai bagian dari transformasi sosial ini. Organisasi seperti Putri Mardika (1912) dan Aisyiyah (1917) menunjukkan bahwa modernisasi dan kesadaran nasional juga mencakup isu-isu emansipasi perempuan dan pendidikan perempuan. Meskipun masih terbatas pada kalangan elite urban, gerakan-gerakan ini menandai perubahan dalam konsepsi tentang peran perempuan dalam masyarakat (Ricklefs, 2008). F. Ambiguitas dan Kontradiksi Politik Etis Analisis kritis terhadap Politik Etis menunjukkan ambiguitas fundamental dalam kebijakan ini. Di satu sisi, Politik Etis membawa modernisasi dan perubahan positif dalam pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan. Di sisi lain, kebijakan ini tetap berada dalam kerangka kepentingan kolonial dan tidak pernah bertujuan untuk pembebasan atau kemerdekaan Hindia Belanda (Nagazumi, 1989). Modernisasi yang dibawa oleh Politik Etis bersifat selektif dan terbatas. Akses ke pendidikan berkualitas tetap terbatas pada elite dan kelas menengah, sementara mayoritas rakyat tetap dalam kemiskinan dan kebodohan. Sistem pendidikan yang diskriminatif dan berorientasi pada kebutuhan administrasi kolonial menciptakan ketimpangan sosial yang baru dan memperkuat hierarki kolonial (Kartodirdjo, 1993). Pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang dilakukan juga tetap mengutamakan kepentingan perusahaan-perusahaan Belanda dan ekstraksi sumber daya untuk kepentingan metropolis. Rakyat pribumi tetap dalam posisi subordinat sebagai buruh, petani kecil, atau pedagang kecil yang kehidupannya tergantung pada sistem ekonomi kolonial. Kesenjangan ekonomi antara Eropa dan pribumi bahkan semakin melebar dengan modernisasi ekonomi (Shiraishi, 1990). Politik Etis juga gagal mengatasi masalah-masalah struktural seperti kemiskinan massal, 7 kepadatan penduduk di Jawa, dan ketergantungan ekonomi pada komoditas ekspor. Programprogram yang dilaksanakan berskala terlalu kecil dan tidak sistematis untuk membawa perubahan fundamental dalam kondisi kehidupan mayoritas rakyat (Ricklefs, 2008). Namun, meskipun penuh dengan kontradiksi dan keterbatasan, Politik Etis memiliki konsekuensi historis yang tidak dapat diabaikan. Kebijakan ini membuka celah dalam sistem kolonial yang memungkinkan munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru yang pada akhirnya menantang dan meruntuhkan sistem kolonial itu sendiri. Kesadaran nasional, organisasiorganisasi pergerakan, dan generasi pemimpin yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah produk dari transformasi sosial yang dimulai pada era Politik Etis (Kartodirdjo, 1993). KESIMPULAN Politik Etis merupakan kebijakan kolonial yang kompleks dan penuh ambiguitas. Meskipun dirumuskan dengan retorika humanis dan klaim tanggung jawab moral, kebijakan ini tetap berada dalam kerangka kepentingan kolonial Belanda. Namun, implementasi Politik Etis melalui program Trias Politika membawa transformasi sosial yang signifikan dan memiliki konsekuensi jangka panjang yang tidak terduga. Program edukasi menciptakan kelas intelektual pribumi yang menjadi motor pergerakan nasional. Pendidikan Barat yang diberikan tidak hanya mentransfer pengetahuan teknis tetapi juga ide-ide tentang nasionalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia yang kemudian digunakan untuk menantang legitimasi kekuasaan kolonial. Paradoks ini menunjukkan bahwa modernisasi kolonial mengandung benih-benih untuk penghancuran sistem kolonial itu sendiri. Program irigasi dan pembangunan infrastruktur membawa modernisasi ekonomi dan peningkatan konektivitas, namun tetap berorientasi pada kepentingan ekonomi kolonial. Transformasi ekonomi menciptakan diferensiasi sosial baru dan kesenjangan yang lebih tajam, namun juga membuka peluang-peluang baru bagi kelas menengah pribumi. Program transmigrasi, meskipun terbatas dalam skala, berkontribusi pada integrasi nasional dalam jangka panjang. Dampak paling fundamental dari Politik Etis adalah munculnya kesadaran nasional dan gerakan-gerakan pergerakan yang menuntut kemerdekaan. Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij merupakan manifestasi dari kesadaran baru yang muncul di kalangan elite terpelajar. Media cetak dan ruang publik baru yang tercipta memfasilitasi penyebaran ide-ide nasionalisme dan mobilisasi massa. Politik Etis menunjukkan bahwa kolonialisme, bahkan dalam bentuk yang paling "tercerahkan" 8 sekalipun, mengandung kontradiksi internal yang pada akhirnya mengarah pada kehancurannya sendiri. Upaya untuk melegitimasi dan memperkuat kekuasaan kolonial melalui modernisasi dan "misi peradaban" justru menciptakan kekuatan-kekuatan sosial yang menantang dasar-dasar legitimasi kekuasaan kolonial. Penelitian ini menunjukkan bahwa transformasi sosial di Hindia Belanda pada awal abad ke20 tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan peran Politik Etis sebagai katalis perubahan. Meskipun tidak dimaksudkan untuk pembebasan, kebijakan ini membuka ruang-ruang baru bagi agensi pribumi dan munculnya kesadaran nasional yang pada akhirnya membawa Indonesia menuju kemerdekaan. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan analisis komparatif dengan kebijakan kolonial "etis" di negara-negara jajahan lain untuk memahami pola-pola umum dan keunikan transformasi sosial di Hindia Belanda. Penelitian tentang dampak jangka panjang Politik Etis terhadap struktur sosial dan politik Indonesia pascakemerdekaan juga akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang warisan kolonialisme dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nagazumi, A. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafiti Pers. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Shiraishi, T. (1990). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti Pers. 9