BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali 2.1.1 Asal

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sapi Bali
2.1.1
Asal-Usul dan Penyebaran Sapi Bali
Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari
sistematika ternak, sapi bali (Bos-bibos banteng) yang spesies liarnya adalah
banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan sub-genus bibos (Williamson dan
Payne, 1978). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi bali itu terjadi
sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng-banteng liar yang ada di
hutan pada zaman dahulu banyak diburu dan ditangkap, kemudian dijinakkan.
Banteng-banteng yang dipelihara tersebut kemudian menghasilkan keturunan, yang
dalam beberapa generasi akhirnya menjadi “banteng jinak” yang disebut sapi bali
(Guntoro, 2002).
Penyebaran sapi bali sudah berkembang sejak lama, dimulai pada daerahdaerah di sekitar Pulau Bali. Penyebaran awalnya dimulai dari Pulau Lombok
melalui komunikasi para raja jaman dahulu. Hasilnya sapi bali mampu berkembang
dengan baik. Selanjutnya sebelum kemerdekaan Republik Indonesia sapi bali sudah
menyebar ke Sulawesi Selatan, NTB, Timor, Irian Jaya, Lampung dan sebagainya
(Bandini, 2004).
Selain Indonesia, negara lain seperti Malaysia dan Australia
ternyata juga mengembangkan sapi bali. Di Malaysia sapi bali dijumpai di
sembilan daerah dengan populasi lebih dari 200 ekor. Sementara di Australia, sapi
bali dijumpai di semenanjung Cobourg. Sapi bali sudah dibawa ke Autralia antara
tahun1827-1849 oleh pemukim dari Eropa. Akan tetapi, pemukiman tersebut
ditinggalkan sejak tahun 1849. Akibatnya sapi bali menjadi liar dan berkembang
biak di alam secara bebas sampai berjumlah sekitar 2000 ekor. Pada tahun 1961
sekitar 40 ekor sapi bali ditangkap dan dipelihara di stasiun penelitian di dekat kota
Darwin (Guntoro, 2002; Bandini, 2004; Batan, 2006).
2.1.2
Karakteristik Sapi Bali
Sapi bali berukuran sedang, dadanya dalam, dan kaki-kakinya ramping.
Kulitnya berwarna merah bata. Cermin hidung, kuku, dan bulu ujung ekor berwarna
hitam. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih (white stocking).
Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantat berbentuk oval yang sering
disebut “white mirror” dan pada paha bagian dalam. Pada punggungnya selalu
ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) dari bahu dan berakhir di atas
ekor. Sapi bali berbulu pendek, halus, dan lembut. Kepala berukuran lebar, pendek
dan berdahi datar. Telinga berukuran sedang dan selalu berdiri. Sapi bali jantan
berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi betina. Warna bulu sapi jantan
biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi
itu mencapai dewasa kelamin atau pada umur 1,5 tahun dan berakhir pada umur 3
tahun. Warna hitam dapat berubah kembali menjadi merah bata apabila sapi tersebut
dikebiri. Perubahan warna dimulai dari bagian belakang tubuh dan menjalar ke
depan. Perubahan itu berlangsung selama sekitar empat bulan dan sapi jantan tidak
pernah menjadi hitam jika sapi itu dikebiri sebelum pubertas (Guntoro, 2002;
Bandini, 2004; Batan, 2006).
Sapi bali baik jantan maupun betina tidak memiliki punuk. Leher sapi betina
nampak panjang dan kecil. Bagian depan leher sapi jantan maupun betina seolah
tidak mempunyai gelambir sama sekali. Sebernarnya sapi bali memiliki gelambir
tetapi tidak begitu lebar jika dibandingkan dengan jenis sapi lain. Gelambir sapi
jantan terdiri dari dua bagian, yaitu sebuah lipatan kecil di antara rahang dan sebuah
lipatan kulit yang dimulai dari bagian bawah leher dan menjulur ke arah dada.
Sementara sapi betina menunjukkan sebuah gelambir kecil yang hanya ada di leher.
Ambing sapi betina tumbuh tidak begitu subur dan ditumbuhi bulu (Bandini, 2004).
2.1.3
Sistem Pemeliharaan Sapi Bali
Sistem pemeliharaan sapi di Indonesia khususnya sapi bali masih bersifat
tradisional dan sederhana. Pada daerah-daerah yang memiliki padang rumput luas
seperti di kawasan Indonesia bagian Timur, sapi tidak dipelihara di dalam kandang.
Sepanjang hari sapi digembalakan di padang rumput. Saat malam hari, sapi-sapi
tersebut hanya dikumpulkan di tempat-tempat tertentu yang diberi pagar atau biasa
disebut ”kandang terbuka”. Sedangkan cara lain dalam pemeliharaan sapi adalah
dengan mengandangkan ternak secara terus-menerus yang disebut dengan sistem
“kereman” (Bandini, 2004).
Tata laksana pemeliharaan sapi bali untuk tujuan penggemukan, pembibitan
dan tenaga kerja harus dibedakan. Pada usaha kereman (penggemukan) sapi bali,
produktivitas
ditekankan
pada
pertumbuhan
sapi
untuk
mengoptimalkan
keuntungan. Oleh karena itu, selama masa penggemukan harus diusahakan untuk
memperoleh pertambahan berat badan sebesar-besarnya dengan input terutama
pakan semurah mungkin. Lama pemeliharan untuk sapi bali kereman tergantung
pada berat awal sapi bakalan. Untuk pembibitan, agar diperoleh anak yang unggul,
calon iduk betina harus dipilih yang bermutu baik serta pejantan yang digunakan
memiliki “perfomance” serta ukuran tubuh yang ideal. Sedangkan untuk sapi
pekerja, yang harus diperhatikan adalah daya kerja dan masa kerja sapi betina
(Guntoro, 2002).
2.1.4 Desa Petang
Desa Petang merupakan salah satu desa di Kecamatan Petang Kabupaten
Badung. Kecamatan Petang mempunyai 7 desa yaitu Desa Carangsari, Getasan,
Pangsan, Petang, Sulangai, Pelaga, dan Belok. Desa Petang berbatasan dengan
Sungai Penet di sebelah Barat, di sebelah Timur dengan Sungai Ayung, di sebelah
Utara dengan Desa Sulangai dan sebelah Selatan dengan Desa Pangsan. Desa
Petang terletak pada ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut. Luas wilayah
Desa Petang secara keseluruhan adalah 1.325 hektar, dengan sawah seluas 61,50
hektar dan ladang seluas 997,17 hektar. Desa Petang terdiri dari 7 dusun yaitu
Dusun Petang Dalem, Petang, Petang Suci, Kerta, Lipah, Munduk Damping dan
Angantiga (Data Monografi Desa Petang, 2010). Secara Geografis Desa Petang
berada pada garis Lintang 08º23’30” LS sampai 115º13’08”BT (Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional, 1992). Dengan keadaan alam yang masih berupa
pedesaan, Desa Petang sangat cocok digunakan untuk bertani dan beternak. Salah
satu ternak yang dapat dikembangkan dengan baik di desa ini adalah sapi bali.
2.2
Cacing Trematoda Pada Sapi
2.2.1
Cacing Fasciola sp.
2.2.1.1 Morfologi
Cacing Fasciola gigantica berbentuk seperti daun, berwarna coklat muda
dan agak transparan. Ukuran cacing Fasciola gigantica mencapai 25-75 mm dan
lebar
12 mm, mempunyai oral sucker dan ventral sucker yang besarnya hampir
sama. Memiliki sebuah faring dan oesofagus yang pendek. Kutikula dilengkapi
dengan sisik, sekum intestinalis umumnya bercabang banyak dan terletak di bagian
lateral tubuh. Testisnya bercabang dan berlobus. Alat kelamin betina memenuhi sisi
lateral tubuh. Telurnya berwarna agak kekuning-kuningan dengan ukuran 156-197
x 90-104 mikron dan mempunyai operculum. Cacing Fasciola gigantica muda
berpredileksi pada hati dan cacing dewasa pada saluran empedu (Dunn, 1978;
Soulsby, 1982; Levine, 1990).
2.2.1.2 Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif. Cacing
bertelur dan melalui saluran empedu, akhirnya keluar bersama feses. Di luar tubuh
hospes, pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu 26oC)
miracidium keluar dari telur melalui operculum setelah 17 hari (Levine,1990), 9-10
hari (Arifin, 2006). Suhu yang diperlukan miracidium untuk dapat hidup adalah di
atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24°C. Miracidium harus menemukan hospes
intermediernya siput Lymnea rubiginosa dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka
akan mati. Kemudian miracidium berkembang dalam tubuh siput selama 75-175
hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya (Levine, 1990). Dalam tubuh
siput, miracidium akan berubah menjadi sporokista, yang di dalamnya berkembang
redia. Di dalam redia berkembang cercaria. Cercaria keluar dari siput dan menempel
pada tanaman air/rumput/sayuran. Cercaria melepaskan ekornya membentuk
metacercaria. Bila rumput/tanaman yang mengandung metacercaria dimakan oleh
ternak, maka cacing akan menginfeksi hospes definitif dan berkembang menjadi
cacing dewasa (Soulsby, 1982; Arifin, 2006).
2.2.1.3 Patogenesa
Setelah sapi memakan rumput yang tercemar metacercaria, maka
metacercaria pecah di dalam duodenum. Kemudian fasciola muda
menembus
dinding usus dan berada dalam rongga peritonium 24 jam setelah infeksi. Setelah 46 hari Fasciola muda menembus kapsul hati dan bermigrasi dalam parenkim hati.
Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu. Terjadinya invasi cacing muda
yang berlangsung secara masif dalam waktu pendek, dapat merusak parenkim hati
sehingga fungsi hati sangat terganggu, dan terjadinya perdarahan ke dalam rongga
peritonium. Meskipun cacing muda hidup dari jaringan hati, tidak mustahil juga
menghisap darah seperti yang dewasa, dan menyebabkan anemis pada minggu ke-4
atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Pada minggu ke 7 cacing telah masuk ke
saluran empedu dan selanjutnya menjadi dewasa. Akibat yang timbul berupa
cholangitis, obstruksi saluran empedu, terjadinya reaksi radang karena telur cacing
dalam saluran empedu, dan anemia. Kejadian anemia ditimbulkan karena cacing
dewasa menghisap darah serta hilangnya persediaan zat besi. Kurangnya produksi
empedu juga menyebabkan metabolisme lemak terganggu, dan juga mendorong
terjadinya diare (Soulsby, 1982; Subronto, 2007).
2.2.1.4 Gejala Klinis
Gejala yang paling sering muncul pada sapi adalah gangguan pencernaan,
ditandai dengan konstipasi dan diare yang hanya terlihat pada tingkat yang ekstrim
(Soulsby, 1982). Pada Fascioliasis kronik, gambarannya berupa kekurusan,
kelemahan umum, anoreksia dan anemia (Dunn, 1978; Subronto, 2007). Odema
submandibula juga merupakan akibat anemia yang berat. Dalam pemeriksaan sistem
sirkulasi sering ditemukan suara jantung mendebur. Tinja cair atau setengah cair
berwarna hitam juga sering diamati (Subronto, 2007).
2.2.2 Cacing Paramphistomum sp.
2.2.2.1 Morfologi
Bentuk cacing Paramphistomum cervi seperti kerucut, dengan bagian ventral
agak cekung dan bagian dorsal agak cembung. Cacing dewasa berwarna merah
muda, berukuran panjang 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Soulsby, 1982), panjang
10-12 mm dan lebar 2-4 mm (Dunn, 1978; Levine, 1990). Porus genitalnya terletak
pada bagian akhir sepertiga anterior tubuhnya. Testes agak berlobi, terletak di
sebelah anterior ovarium. Vitellaria dalam kelompok tersusun rapi di antara faring
dan posterior sucker. Telur berukuran 114-176 x 73-100 mikron. Cacing
Paramphistomum cervi muda predileksinya pada usus halus dan cacing dewasa pada
rumen dan retikulum (Soulsby, 1982).
2.2.2.2 Siklus Hidup
Telur cacing keluar bersama tinja saat hewan penderita defikasi. Pada
kondisi yang menunjang (air tergenang dengan suhu + 27oC) larva cacing yang
disebut miracidium akan keluar melalui operculum setelah kurang lebih 12 hari.
Miracidium selanjutnya berenang di air dan secara aktif mencari hospes intermedier
berupa siput dari genus Planorbis, Bulinus, Indoplanorbis, Lymnaea, Gliptanisus
dan Pseudosuccinea. Setelah masuk dalam tubuh siput, miracidium akan berubah
menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang, di dalamnya
akan mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke 21 sporokista akan pecah dan
menghasilkan redia dengan panjang 0,5-1 mm. Di dalam redia ditemukan 15-30
cercaria. Cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang bebas di air dan menempel
pada rumput. Kemudian cercaria akan mengkista disebut metacercaria. Hewan dapat
terinfeksi karena tertelannya rumput yang mengandung metacercaria. Setelah
sampai di usus, kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan
menembus masuk ke dalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu
cacing muda akan bermigrasi ke atas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya
berkembang menjadi cacing dewasa (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Bowman, 2003).
2.2.2.3 Patogenesa
Metacercaria yang ikut tertelan bersama rumput akan menjadi cacing muda
dalam usus halus. Cacing muda yang bertempat di usus halus menyebabkan radang
usus hebat hingga segera diikuti dengan diare berat. Kemudian cacing ini akan
menembus masuk mukosa usus halus, keluar ke permukaan dan bermigrasi ke
dalam rumen dan retikulum kira-kira 1 bulan setelah infeksi. Cacing dewasa dalam
rumen dan retikulum menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan
kepucatan pada mukosa serta papila rumen banyak mengalami degenerasi (Soulsby,
1982; Subronto, 2007).
2.2.2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah
besar dalam usus halus adalah adanya radang usus akan diikuti dengan diare yang
berbau busuk (Bandini, 2004; Subronto, 2007). Hewan jadi lemah, depresi,
dehidrasi, anoreksia dan mukosa menjadi pucat. Hewan penderita mungkin mati
dalam waktu 15-20 hari setelah gejala klinis teramati (Subronto, 2007). Pada kasus
sub akut dan kronis akan terjadi diare yang berkepanjangan dan ditemukan adanya
darah segar pada tinja hewan penderita (Dunn, 1978).
2.2.3
Cacing Schistosoma sp.
2.2.3.1 Morfologi
Cacing Schistosoma merupakan cacing trematoda yang uniseksual. Cacing
jantan tubuhnya pipih memanjang dan melengkung ke lipatan longitudinal. Cacing
betina tubuhnya lebih panjang,
berbentuk seperti cacing gilik tetapi hanya
berdiameter 0,3 mm. Cacing betina pada umumnya melekat pada yang jantan.
Cacing betina dapat melekat pada jantan karena cacing jantan pada bagian
ventralnya terdapat suatu celah yang berbentuk silindris dan mengikuti sisi lateral
tubuh, saluran ini dinamakan canalis gynaecophorus (Dunn, 1978). Sucker lemah
dan menutup atau tidak terdapat sucker sama sekali. Tidak memiliki faring dan
porus genitalis terletak di belakang ventral sucker. Kutikula berduri pada sucker
dan pada kanalis gynaecophorus. Ukuran tubuh dan telur cacing Schistosoma
berbeda-beda tergantung spesiesnya.
Cacing
Schistosoma japonicum jantan
memiliki panjang 9,5-20 mm dan lebar 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya
12-26 mm dan tebal 0,3 mm. Telurnya berukuran 70-100 x 50-80 mikron.
Morfologi telur cacing dicirikan dengan tidak memiliki operculum dan mempunyai
spina terminalis. Cacing Schistosoma bovis jantan mempunyai panjang 9-22 mm
dan
lebar 1-2 mm, sedangkan betina panjangnya 12-28 mm. Telur biasanya
berbentuk spindel, tapi yang kecil biasanya berbentuk oval, dan berukuran rata-rata
187 x 60 mikron, batas-batas yang diberikan oleh beberapa penulis 132-247 x 38-60
mikron. Cacing Schistosoma mattheei mempunyai ukuran telur 170-280 x 72-84
mikron. Cacing Schistosoma spindale mempunyai panjang 5,6-13,5 mm untuk
jantan dan 7,18-16,2 mm untuk betina. Telurnya berukuran 160-400 x 70-90
mikron, bentuknya memanjang, pipih di satu sisi dan memiliki spina terminalis.
Cacing Schistosoma indicum mempunyai panjang 5-19 mm untuk jantan dan 6-22
mm untuk betina. Telur berbentuk oval dengan spina terminalis dan berukuran 57140 x 18-72 mikron. Cacing Schistosoma dewasa predileksinya pada vena porta
dan vena mesenterika (Soulsby, 1982).
2.2.3.2 Siklus Hidup
Cacing betina meletakkan telurnya pada vena mesenterika. Untuk mencapai
lumen usus atau kandung kemih, telur memproduksi enzim yang memungkinkan
mengikis jalan melalui jaringan ke dalam lumen kandung kemih atau usus. Di
samping itu beberapa telur masuk ke dalam vena balik dan melalui hati, paru-paru
dan organ lain, di mana telur tersebut tersangkut di dalam kapiler dan menyebabkan
terbentuknya kerusakan kecil. Kemudian telur keluar dari induk semang dan
mencapai air untuk menetas. Miracidium aktif berenang sampai menemukan siput
dari genus Schistosomophora untuk Schistosoma japonicum, Bulinus dan Physopsis
untuk Schistosoma bovis, Physopsis untuk Schistosoma matthei, Lymneae,
Planorbis, Indoplanorbis untuk Schistosoma spindale dan Indoplanorbis untuk
Schistosoma indicum. Miracidium menembus siput dan berubah menjadi sporokista
induk yang menghasilkan sporokista anak yang memproduksi cercaria. Cercaria
meninggalkan siput, berenang di air dan masuk ke hospes definitif dengan jalan
menembus kulit (Soulsby, 1982; Levine, 1990 ) .
2.2.3.3 Patogenesa
Penetrasi cercaria melalui kulit menyebabkan dermatitis yang paling jelas
24-26 jam setelah infeksi. Dalam perjalanan cacing muda melalui
dapat
paru-paru
menyebabkan pneumonia bila jumlah cacing banyak, tetapi biasanya
menimbulkan akumulasi eosinofil dan sel-sel epiteloid yang bersifat non klinis.
Kerusakan paling serius disebabkan oleh parasit dewasa yang bertelur pada kapilerkapiler dinding usus dan organ lain. Telurnya yang berduri menyebabkan terjadi
iritasi yang kemudian diinfiltrasi oleh leukosit terutama eosinofil dan juga terjadi
abses. Bila abses pada dinding usus pecah, isinya disalurkan ke dalam lumen usus
halus dan diikuti oleh penyembuhan melalui pembentukan jaringan parut. Gejala
klinis utama hasil dari perubahan patologi ini adalah diare dengan ditemukan telurtelur parasit dalam feses, sering disertai dengan mukus. Limpa dan limfoglandula
mesenterika biasanya juga terpengaruh, menjadi padat dan menunjukkan
peningkatan jaringan fibrosa (Soulsby, 1982). Pada hati abses mengalami
encapsulasi dan akhirnya akan mengapur, sejumlah besar foci tersebut
menyebabkan pembesaran organ, yang ditandai dengan cirrhosis dan ascites (Dunn,
1978; Soulsby, 1982).
2.2.3.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat teramati adalah batuk karena migrasi cacing muda
ke paru-paru dalam jumlah yang banyak, diare dan jika kejadiannya parah akan
terdapat darah pada feses, dehidrasi, anoreksia, kehilangan berat badan,
pertumbuhan terhambat, dan anemia (Dunn, 1978; Soulsby, 1982).
2.2.4 Cacing Eurytrema sp.
2.2.4.1 Morfologi
Cacing Eurytrema pancreaticum berukuran kecil yaitu 8-16 x 5-8,5 mm,
berwarna kemerahan dan bentuknya agak oval. Cacing ini ujung anteriornya tumpul
dan bulat, serta memiliki bentukan seperti lidah pendek pada ujung posterior
(Dunn, 1978). Tubuh tebal dan bersenjata dengan duri, yang sering hilang setelah
dewasa. Cacing ini memiliki oral sucker yang lebih besar daripada ventral sucker,
faring kecil dan oesopaghus pendek. Testis horisontal, sedikit posterior dari ventral
sucker. Genital pore membuka tepat di belakang bifurkasio dari usus. Kantung
cirrus berbentuk tubular dan kembali melewati batas anterior dari ventral sucker.
Ovarium terletak di dekat garis tengah, di belakang testis, dan uterus terletak pada
bagian belakang tubuh. Kelenjar vitelline berbentuk folikel dan terletak lateral.
Telurnya kecil, berukuran
40-50 x 23-34 mikron dan berwarna coklat. Cacing
Eurytrema pancreaticum berpredileksi pada pankreas (Soulsby, 1982).
2.2.4.2 Siklus Hidup
Telur cacing keluar bersama tinja saat hewan penderita defikasi. Kemudian
telur termakan hospes intermedier pertama yang berupa siput darat Bradybaena
similaris dan Cathaica ravida sieboldtiana dari Famili Fruiticoidolidae. Pada tubuh
siput,
miracidium akan keluar dari telur. Miracidium selanjutnya berkembang
menjadi sporokista yang memperbanyak diri dengan membentuk gelendonggelendong, masing-masing gelendong membentuk anak sporokista. Dalam waktu
kira-kira 5 bulan, anak sporokista keluar dari siput dan mencemari rumput. Rumput
yang tercemar kemudian termakan belalang Conocephalus maculatus sebagai
hospes intermedier ke dua. Dalam tubuh belalang, anak sporokista akan berkembang
menjadi cercaria dan selanjutnya menjadi metacercaria infektif yang terjadi dalam
waktu 3 minggu sejak belalang terinfeksi. Sapi dapat terinfeksi karena memakan
belalang yang mengandung metacercaria. (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine,
1990).
2.2.4.3 Patogenesa
Beberapa cacing dapat menimbulkan perubahan kecil, tetapi biasanya ada
peradangan katarral dengan kerusakan epitel saluran. Telur dapat menembus ke
dalam dinding saluran menyebabkan inflamasi dan granulomata di mana sel-sel
plasma dan eosinofil mendominasi. Granulomata yang terbatas pada parenkim tidak
begitu berpengaruh. Kadang-kadang pada fibrosis berat dapat menyebabkan terjadi
atrofi pankreas. Infeksi yang berat pada hewan menyebabkan kondisi hewan
menjadi buruk, tetapi tidak ada tanda-tanda klinis pasti lainnya yang dianggap
berasal dari parasit ini (Dunn, 1978; Soulsby, 1982).
2.2.4.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada hewan penderita adalah kelemahan, berat
badan turun secara nyata, gangguan sistem pencernaan yang mengakibatkan diare
atau konstipasi (Dunn,1978; Soulsby,1982).
2.2.5
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan
penemuan telur cacing dalam feses. Maka untuk mendiagnosis dan identifikasi telur
cacing trematoda tersebut dapat dilakukan dengan Uji Konsentrasi Sedimentasi
Parfitt and Bank’s (Soulsby, 1982).
2.2.6
Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda pada Sapi
Beberapa
hasil penelitian cacing trematoda pada sapi telah dilaporkan,
prevalensi infeksi cacing Fasciola gigantica oleh Ekwunife et al. (2006) di Onitsha,
Nigeria sebesar 10,51%, Yadav et. al, (2007) di Uttaranchal, India sebesar 11,77%,
dan Kakar and Kakarsulemankhel (2008) di Queta, Pakistan sebesar 12,37%. Infeksi
cacing Paramphistomum cervi pada sapi pernah dilaporkan oleh Raza et al. (2009)
di Tehsil Jatoi, Muzaffar Garh, Pakistan dengan prevalensi sebesar 17,64%. Hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Keyyu et al. (2006) di Tanzania infeksi Fasciola
gigantica pada sapi di peternakan tradisional sebesar 63,8%, peternakan besar
sebesar 46,2% dan
peternakan kecil sebesar 28,4%, sedangkan
infeksi
Paramphistomum sp. pada peternakan tradisional sebesar 81,9%, peternakan besar
sebesar 55,5% dan peternakan kecil sebesar 41,1%. Sedangkan hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Yabe et al. (2008) di Kafue dan daerah aliran sungai Zambezi,
Zambia, prevalensinya sebesar 42,2%, dengan 32% ternak sapi terinfeksi tiga jenis
cacing trematoda yaitu Fasciola gigantica, Paramphistomum sp. dan Schistosoma
sp., 66% terinfeksi dua jenis cacing trematoda yaitu Fasciola gigantica dan
Paramphistomum sp., 52% terinfeksi Schistosoma sp. dan Paramphistomum sp.,
sementara 32% terinfeksi Fasciola gigantica dan Schistosoma sp.
Download